26 Januari 2009

Taat Kepada Pemimpin Yang Rusak Asal Masih Shalat?

Mereka yang tidak berani menegakkan nahi mungkar terhadap pemimpin yang rusak, berdalih bahwa para pemimpin itu masih shalat. Sehingga pemimpin itu tidak layak untuk dilawan.
Inilah hadits yang dijadikan sandaran,
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ ». قَالُوا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ « لاَ مَا صَلَّوْا ».
"Akan ada Umara' yang kalian kenal tetapi kalian ingkari. Barangsiapa yang mengetahuinya, ia telah berlepas diri darinya. Siapa yang mengingkarinya, ia telah selamat. Akan tetapi yang ridha dan mengikuti."
Para shahabat bertanya: Tidakkah kita perangi mereka?!
Rasul menjawab: "Tidak, selama mereka masih shalat."
Salah satu kaidah penting dalam memahami hadits dengan benar adalah mengumpulkan riwayat-riwayat sejenis dalam satu bab untuk dilihat secara komprehensif. Tidak bisa sebuah hadits dipahami, tanpa melihat riwayat sejenis. Sering kali kesalahan terjadi, ketika seseorang hanya berpegang pada satu riwayat dan tidak mengetahui riwayat lain, tetapi sudah berani memberikan hukum.
Di sinilah terasa begitu pentingnya membuka kembali penjelasan para ulama yang menguasa sekian banyak riwayat yang tidak kita kuasai. Sehingga cara mereka memutuskan pasti lebih benar, tepat dan luas.
Hadits tersebut di atas shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ummul mukminin Ummu Salamah radhiallahu anha (hadits no. 4906-4909). Sebagaimana karakter Imam Muslim dalam Shahihnya, beliau biasa mengumpulkan berbagai riwayat dengan berbagai tambahan lafadz dalam satu bab.
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan melalui jalur Qatadah dari Hasan. Selain jalur riwayat ini, ada jalur riwayat lain melalui Hisyam dari Hasan.
Riwayat Qatadah sendiri ada dua kalimat berbeda:
فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ
(Siapa yang mengetahui, telah berlepas diri. Siapa yang membenci, telah selamat)
فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ
(Siapa yang membenci, sungguh telah berlepas diri. Siapa yang mengingkari sungguh telah selamat)

Adapun riwayat Hisyam:
فَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ سَلِمَ
(Siapa yang mengingkari, sungguh telah berlepas diri. Siapa yang membenci, sungguh telah selamat)
Di awal, penting sekali melihat lihat judul bab hadits ini:
باب وُجُوبِ الإِنْكَارِ عَلَى الأُمَرَاءِ فِيمَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ وَتَرْكِ قِتَالِهِمْ مَا صَلَّوْا وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Bab wajibnya mengingkari para umara' yang bertentangan dengan syariat dan tidak boleh memerangi mereka selama masih shalat
Dari judul bab ini saja, sudah sangat jelas bahwa hadits tersebut di atas bukan untuk melegitimasi kebisuan mereka yang melihat kemungkaran para pemimpin. Justru hadits ini seharusnya membuka hati dan menggerakkan tangan serta lisan mereka untuk berani mengingkari perbuatan para pemimpin yang melakukan pelanggaran syariat. Yang dilarang adalah Qital (memerangi) mereka dengan melakukan pertumpahan darah, selama meraka masih shalat. Tetapi nahi mungkar adalah kewajiban sebagaimana judul bab ini sendiri.
Bahasa Rasulullah dalam hadits ini lebih jelas lagi. Ada dua kata yang menjelaskan siapa pemimpin tersebut dan sikap junudnya yang benar.
Pertama, kata yang dipakai Rasulullah: تعرفون (kalian mengenal mereka). Artinya para pemimpin itu bukan orang asing yang kemudian tiba-tiba muncul menjadi pemimpin. Tetapi mereka yang telah sekian lama bersama dalam perjuangan dan pasti orang yang sangat berjasa dalam dakwah serta orang pilihan, sehingga diangkat menjadi pemimpin. Itulah siratan makna dari bahasa Nabi: kalian mengenal mereka.
Kedua, kata yang dipakai Rasulullah: وتنكرون (Dan kalian ingkari). Kata mengingkari dari akar kata kemungkaran. Pengingkaran itu terjadi karena para pemimpin telah melakukan kemungkaran, maka mereka harus diingkari. Sehingga judul babnya menjadi: فِيمَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ (Yang bertentangan dengan syariat). Inilah kemungkaran itu.
Dalam hadits no. 4910 masih dalam riwayat Muslim ada penjelasan tambahan sebelum Nabi menegaskan bahwa para pemimpin itu tidak boleh diperangi dengan pedang selama masih shalat. Penjelasan itu adalah:
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
(Dan pemimpin kalian yang buruk adalah yang:
- Kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian.
- Kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.)
Karena kemungkaran yang dilakukan pemimpin itu, kemudian tersebarlah saling benci dan saling laknat antara junud dan pemimpin. Melihat teks hadits, hal ini semua terjadi dimulai dari kata (شرار أئمتكم / pemimpin kalian yang buruk). Inilah sumber masalahnya. Pemimpin yang mungkar dan buruk.
Kata kalian yang dipakai oleh Nabi dalam dua kata ini diperuntukkan untuk para shahabat. Yaitu para shahabat Nabi yang akan menjumpai keadaan baru, dengan kehadiran para qiyadah yang mungkar. Hal ini diperjelas dengan lafadz pertanyaan para shahabat:
ألا نقاتلهم؟
(Tidakkah kita perangi mereka?)
Untuk kita hari ini, siapapun yang mengikuti manhaj para shahabat pasti akan mengingkarinya dan tidak diam apalagi 'mendukung' kemungkaran dengan kalimat: selama mereka masih shalat. Jadi, mengingkari para qiyadah yang rusak adalah manhaj para shahabat yang langsung diajarkan oleh Rasulullah. Inilah makna dari judul bab: (وجوب الإنكار / wajibnya mengingkari). Jadi, tidak boleh diam!
Untuk menjelaskan kata (Qital / memerangi) para pemimpin yang dilarang, sekaligus kata dalam riwayat lain: (وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ / jangan mencabut ketaatan, hadits no. 4910). Berikut ini riwayat lain yang lebih menjelaskan makna Qital yang dilarang itu: (أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ / Tidakkah kita ayunkan pedang kepada mereka?) Inilah Qital yang dilarang. Yaitu mengangkat senjata hingga memungkinkan pertumpahan darah sesama muslim. Jika telah mengangkat senjata maka inilah Qital dan mencabut ketaatan yang dilarang dalam hadits ini.
Judul bab yang menggabungkan antara: (وجوب الإنكار / wajib mengingkari) dan (ترك قتالهم / tidak boleh memerangi mereka), harus dipahami dengan lengkap. Nahi mungkar sebuah kewajiban. Perang pertumpahan darah sebuah larangan.
Hadits ini menyampaikan dua hal sekaligus;
Pertama, tentang kehadiran qiyadah yang sudah dikenal jamaah tetapi terjerumus dalam kerusakan
Kedua, tentang sikap para junud
Untuk lebih jelas, mari kita simak penjelasan Imam Nawawi berikut ini.
"Hadits ini mengandung mukjizat yang memberitakan masa depan. Dan benar terjadi seperti yang dikhabarkan oleh Rasulullah. Riwayat: (siapa yang membenci sungguh telah berlepas diri...) maknanya lebih jelas. Yaitu, siapa yang membenci kemungkaran itu, sungguh ia telah berlepas diri dari dosa dan hukuman yang akan terjadi. Ini bagi yang tidak sanggup mengingkari dengan tangannya juga tidak dengan lisannya. Maka bencilah dengan hatinya agar bisa berlepas diri.
Adapun riwayat: (siapa yang mengetahui, telah berlepas diri) maknanya –wallahu a'lam- adalah: siapa yang mengetahui kemungkaran itu dan tidak ada yang samar baginya sungguh itu menjadi jalan baginya untuk bisa berlepas diri dari dosa dan hukuman yang akan terjadi, baik dengan cara mengubah menggunakan kedua tangannya, atau lisannya, jika ia lemah maka bencilah dengan hati.
Kalimat Nabi: (Akan tetapi yang ridha dan mengikuti) maknanya adalah: dosa dan hukuman bagi yang ridha dan mengikuti.
Hal ini menjadi landasan bahwa siapa yang lemah dan tidak sanggup menghilangkan yang mungkar, tidak berdosa hanya dengan sekadar diam. Tetapi ia berdosa jika ridha terhadapnya, dengan tidak membencinya menggunakan hati atau bahkan menjadi pengikutnya.
Adapun pertayaan shahabat: (Tidakkah kita perangi mereka?) dan jawaban Nabi: (Tidak, selama masih shalat), mengandung makna: tidak boleh khuruj terhadap khalifah hanya karena kedzaliman atau kefasikan selama tidak merubah sebagian dari kaidah-kaidah Islam."
Junud akan terpecah setelah pemimpin melakukan kemungkaran. Sikap mereka berbeda-beda. Tetapi Nabi telah menunjukkan dengan sangat gamblang mana sikap junud yang benar dan mana yang salah. Ada dua sikap junud yang disebutkan dalam hadits saling berhadapan:
1. Sikap (عرف / mengetahui), ( كره/ membenci) dan (أنكر / mengingkari)
Ini adalah sikap yang benar. Junud yang seperti ini disebut Nabi: (فقد برأ / sungguh telah berlepas diri) dan (فقد سلم / sungguh telah selamat).
2. Sikap (رضي / ridha) dan (تابع / mengikuti)
Ini adalah sikap yang salah. Nabi tidak menyebut akibat sikap junud yang seperti ini. Tetapi jelas maknanya sebagaimana juga yang disampaikan Imam Nawawi dalam penjelasannya bahwa sikap ini akan berdampak pada kebalikan poin pertama. Yaitu: para junud itu akan ikut menanggung dosa dan tidak selamat dari hukuman Allah.
Ada tiga tingkatan bagi junud Ishlah:
a. (Makrifah) Mengetahui
Ini tingkatan pertama yang harus dilalui untuk mencapai tingkat berikutnya. Tanpa melek permasalahan, maka tidak mungkin akan mengerti titik kemungkaran yang harus diingkari. Ini yang disebut oleh Imam Nawawi sebagai titian awal untuk selamat. Syaratnya, dengan ilmu dan informasi itu ia gunakan untuk melangkah ke tangga berikutnya.
b. (Karahah) Membenci
Membenci dengan menggunakan hati. Ini adalah langkah selanjutnya setelah mengetahui. Tangga kedua ini sudah cukup untuk menghantarkan ia berlepas diri di hadapan Allah dari dosa pemimpin dan selamat dari hukuman ketika turun. Tetapi, jika ada yang memilih poin ini, berarti ia termasuk junud yang lemah. Karena pengingkaran terhadap kemungkaran baru sebatas hati.
c. (Ingkar) Mengingkari
Mengingkari bisa menggunakan hati, sehingga maknanya tidak jauh dari poin kedua. Atau bisa juga dengan menggunakan tangan dan lisan, sebagaimana 3 urutan nahi mungkar (tangan, lisan, hati). Jika maknanya adalah mengingkari dengan tangan dan lisan, maka junud di wilayah ini telah keluar dari kalimat Nabi: Iman yang paling lemah.

Junud pengekor juga mempunyai tingkatan:
a. (Ridha) Rela
Ridha, artinya masih rela dengan semua keputusan dan kepemimpinan pemimpin mungkar tersebut. Walaupun sangat mungkin mereka yang rela akan otomatis menjadi pengikut setia. Tetapi bisa jadi, kerelaan itu adalah sebuah keterpaksaan –dengan berbagai dalihnya- tetapi tidak lagi sebagai pengikut setia. Yang ada adalah rela dalam kebingungan. Ridha dalam ketidakjelasan. Biasanya, ini terjadi ketika seorang jundi cukup kesulitan untuk keluar dari lingkaran ketaatan sementara makrifah (pengetahuan dan informasi) tidak cukup dimiliki. Atau sudah mencapai tingkat makrifah, tetapi masih bimbang untuk mengambil langkah ke tangga berikutnya karahah (membenci).
b. (Mutaba'ah) Mengikut
Para pengikut pemimpin mungkar ini bisa muncul karena karena belum makrifah, jika ini masalahnya sangat mudah menyelesaikannya. Yang sulit adalah mereka yang tidak mau makrifah, menutup telinga dari kesalahan pemimpinnya. Data sebanyak apapun, tidak akan bisa merubahnya karena memang tidak mau tahu. Yang lebih buruk lagi, adalah mereka yang memang punya ambisi syahwah khafiyyah (syahwat tersembunyi). Apapun dan siapapun yang bisa memenuhi syahwatnya, pasti akan diikutinya dengan setia.

Di akhir penjelasan Imam Nawawi (Tidak boleh khuruj terhadap khalifah hanya karena kedzaliman atau kefasikan selama tidak merubah sebagian dari kaidah-kaidah Islam.), ada dua hal yang harus dipisahkan;
Pertama, pengingkaran terhadap pemimpin dilakukan jika yang terjadi adalah kedzaliman dan kefasikan. Pada batas ini, tidak boleh ada khuruj 'alal imam.
Kedua, perlawanan yang lebih serius dilakuan jika pemimpin telah merubah sebagian dari kaidah-kaidah Islam. Kaidah Islam yang dimaksud adalah tsawabit yang memang tidak akan berubah sepanjang zaman dalam keadaan apapun. Jika ada qiyadah jamaah muslimah yang telah berani mengubah tsawabit, maka perlawanan yang lebih serius dilakukan dengan kajian yang lebih dalam terhadap kaidah-kaidah nahi mungkar.

Wallahu a'lam
Ar raji 'afwa rabbih
Abu Dihya
baca selengkapnya »»
Pemimpin Mematikan Sunnah, Memunculkan Bid'ah dan Mengakhirkan Shalat

عن عبد الله يعني ابن مسعود ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إنه سيلي أمركم قوم يطفئون السنة ، ويحدثون البدعة، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها » . قال ابن مسعود : فكيف يا رسول الله ، إن أدركتهم ؟ قال : « يا ابن أم عبد ، لا طاعة لمن عصى الله » ، قالها ثلاثا
Dari Abdullah bin Mas'ud berkata, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, "Kalian akan dipimpin oleh kaum yang mematikan sunnah, memunculkan bid'ah dan mengakhirkan waktu shalat dari waktunya."
Ibnu Mas'ud bertanya: Bagaimana ya Rasulullah, jika saya menjumpai mereka?
Nabi bersabda, "Wahai Ibnu Ummi 'Abd, Tidak ada ketaatan bagi orang yang maksiat kepada Allah!" Diucapkan tiga kali.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad no. 3863 dan 3966, Ibnu Majah no. 2865, Baihaqi no. 5520 dan dalam Dalail an-Nubuwwah no. 2691.
Al-Albani mengatakan: Ini sanadnya shahih, para perawinya perawi shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. (as-Silsilah ash-Shahihah hadits no. 590 dan 2864)

Kita perlu kumpulkan hadits-hadits yang berbicara tentang tema ini agar mendapat gambaran lengkap tentang pembahasannya. Berikut ini adalah hadits-haditsnya:

1. عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ « كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا ». قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ « صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ ». وَلَمْ يَذْكُرْ خَلَفٌ عَنْ وَقْتِهَا.
"Dari Abu Dzar berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya sambil menepuk pahaku, "Bagaimana kamu jika berada diperintah oleh umara' yang mengakhirkan shalat dari waktunya atau mematikan shalat dari waktunya?"
Abu Dzar berkata: Apa perintahmu kepadaku?
Nabi bersabda, "Shalatlah tepat pada waktunya, jika (setelah itu) kamu bersama mereka (hendak) melaksanakannya, maka shalatlah kamu. Sesungguhnya ini menjadi ibadah sunnah bagimu." (HR. Muslim no. 1497, 1500 dan 1502)

2. سيليكم أمراء بعدي يعرفونكم ما تنكرون و ينكرون عليكم ما تعرفون ، فمن أدرك ذلك منكم ، فلا طاعة لمن عصى الله .
"Kalian akan diperintah pemimpin setelahku yang mereka mengenalkan kalian kepada hal yang kalian ingkari dan mereka mengingkari kalian pada sesuatu yang sudah kalian kenali. Barangsiapa yang menjumpai hal tersebut di antara kalian, maka tidak ada ketaatan bagi orang yang bermaksiat kepada Allah." (HR. Ahmad no. 2282,1 Hakim no 5528, Thabrani dalam al-Ausath no. 2894 dan 'Uqaili dalam adh-Dhu'afa')
Hadits ini dihasankan oleh al-Albani (lihat as-Silsilah ash-Shahihah hadits no 590) dan al-Munawi berkata: sanadnya bagus. (lihat jami' al-Ahadits hadits no. 9059)
Dalam riwayat lain:
3. سيكون عليكم أمراء يأمرونكم بما لا تعرفون ويفعلون ما تنكرون فليس لأولئك عليكم طاعة
"Kalian akan diperintah oleh para pemimin yang memerintahkan kalian terhadap hal yang tidak kalian kenal dan mengerjakan hal yang kalian ingkari. Kalian tidak ada kewajiban taat kepada mereka." (Jami' al-Ahadits no. 13057)

4. ليأتين عليكم أمراء يقربون شرار الناس ، و يؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن أدرك ذلك منهم فلا يكونن عريفا و لا شرطيا و لا جابيا و لا خازنا.
"Akan datang kepada kalian para pemimpin yang mendekat kepada manusia-manusia jahat, mengakhirkan shalat dari waktunya. Barangsiapa yang menjumpai hal itu pada mereka, maka jangan sekali-kali ia menjadi 'arif, syurthiy, jabi, khazin." (HR. Ibnu Hibban hadits no. 4669, Abu Ya'la no. 1115)
Al-Haitsami berkata: Para perawinya adalah perawi shahih kecuali Abdurrahman bin Mas'ud dan dia tsiqah.
Al-Albani berkata: Ini sanadnya shahih, para perawinya tsiqah; para perawinya Bukhari dan Muslim selain Abdurrahman bin Abdullah bin Mas'ud, dia tsiqah. Juga Ahmad bin Ali bin Mutsanna dia adalah Abu Ya'la al-Mushili tsiqah hafidz. (Lihat as-Silsilah ash-Shahihah hadits no. 360)

Ada dua tema besar yang disampaikan dalam hadits-hadits di atas:
1. Kemunculan ciri pemimpin yang rusak
2. Sikap para junud

Ciri para pemimpin rusak dalam hadits-hadits tersebut sebagai berikut:
a. Memadamkan sunnah
b. Menghidupkan bi'dah
c. Mengakhirkan shalat
d. Mengenalkan dan memerintahkan terhadap hal-hal yang selama ini diingkari oleh para junudnya
e. Mengingkari hal-hal yang selama ini telah dikenal dan dipahami oleh para junudnya
f. Mendekat kepada orang-orang rusak/jahat

Dan beginilah para junud harus bersikap:
a. Jika masalahnya tentang mengakhirkan shalat, para junud harus meninggalkan pemimpinnya, untuk shalat tepat pada waktunya. Dan tidak ikut mengakhirkan shalat bersama pemimpinnya.
Abdullah bin Umar semula mau shalat bersama Hajjaj bin Yusuf. Ketika Hajjaj mulai mengakhirkan shalatnya, Ibnu Umar tidak lagi terlihat shalat bersama Hajjaj.
Abu Juhaifah pun melakukan hal yang sama ketika Hajjaj mengakhirkan shalat, dia berdiri/pergi dan shalat.
Ketika Khalifah al-Walid mengakhirkan shalat Jum'at hingga masuk waktu sore, Atha' berkata: saya datang ke masjid, langsung shalat Dzuhur sebelum duduk kemudian shalat Ashar sambil duduk dengan mengggunakan isyarat saat al-Walid sedang khutbah.
Ibnu Hajar memberikan komentarnya: Atha' melakukan itu karena dia takut dibunuh.
Saat di Mina dan muslimin menunggu al-Walid mendengarkan surat-surat yang ditujukan kepadanya sehingga shalat diakhirkan, Atha' dan Said bin Jubair shalat sambil duduk dengan isyarat. (lihat: Fath al-Bari 2/14 maktabah syamilah)
b. Jika masalahnya adalah pemimpin yang memadamkan sunnah, menghidupkan bid'ah dan mengakhirkan shalat. Maka Nabi menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa dilarang taat kepada pemimpin seperti ini.
Bahkan Nabi heran untuk orang berilmu sekelas Ibnu Mas'ud masih menanyakan sikap terhadap pemimpin yang sudah seperti itu,
تَسْأَلُنِى ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ كَيْفَ تَصْنَعُ
"Kamu (masih) bertanya kepadaku wahai Ibnu Ummi Abd bagaimana kamu harus bersikap?" (HR. Baihaqi no.5520)
c. Jika pemimpin itu sudah merapat kepada orang-orang rusak dan jahat, maka para jundi dilarang untuk membantunya. Berikut 4 jabatan yang dilarang oleh Rasulullah bagi para jundi yang menjumpai pemimpinnya seperti itu:
a. 'Arif
'Arif adalah pimpinan suatu kaum dan tokoh mereka. Dinamakan juga naqib yaitu (pimpinan) yang menjadi bawahan pemimpin (tinggi). (Taj al-'Arus 1/6018, maktabah syamilah)
b. Syurthiy
Syurthiy adalah pasukan terdepan di medan perang dan siap untuk mati (Lisan al-'Arab 7/329, maktabah syamilah)
c. Jabi
Jabi adalah para petugas pengumpul. Biasanya kata ini lebih sering berhubungan dengan pengumpulan harta untuk negara. Jabi ash-shadaqat (pengumpul zakat, shadaqah) (al-Ahkam as-Sulthaniyyah 1/35, maktabah syamilah), Jabi al-Kharaj (Pengumpul kharaj/penghasilan tanah) (Lisan al-'Arab 14/128, maktabah syamilah)
d. Khazin
Khazin adalah mereka yang bertugas menyimpan, menjaga dan mengatur kekayaan dan aset (Lihat: Lisan al-'Arab 13/139). Seperti kalimat Nabi Yusuf : "Jadikanlah aku bendaharawan (Khazain) negara (Mesir)." (Qs. Yusuf: 55)

Wallahu A'lam
Ar-Raji 'Afwa Rabbih
Abu Dihya
baca selengkapnya »»