28 November 2008

Kepalsuan Tatanan Dunia Baru

Dr. Mahdi 'Akif, Mursyid 'Aam Ikhwanul Muslimin

Siapa saja yang mencermati strategi globalisasi, maka dia akan mendapati bahwa kekacauan adalah satu hal yang tak terelakkan sebagai imbas dari strategi tersebut. Baik dalam skala hubungan bilateral antar negara atau dalam kondisi politik internal sebuah negara.

Sebenarnya, ini adalah sistem yang amat aneh. Karena secara langsung atau tidak sistem ini mengarah pada intervensi sebuah negara pada urusan internal negara lain. Hal ini lalu berimbas pada dikuasainya kekayaan negara-negara lemah, semata-mata untuk kepentingan negara yang lebih kuat dan mapan.

Perang Dunia I dan II

Dalam perjalanannya, tatanan global dunia ini membawa umat manusia pada peperangan demi peperangan, di antaranya PD I dan II. Perang ini memakan korban yang luar biasa. PD I menewaskan sekitar 10 juta jiwa dan korban luka-luka yang tak terhingga. Hasil dari PD I ini membuat bangsa-bangsa saling curiga. Dan, hanya 20 tahun setelah itu, pecah lagi perang dunia II. Setelah berakhirnya PD II, pihak yang memenangkan perang (pihak sekutu), membuat sebuah organisasi dunia yang berusaha mencegah pecahnya perang dunia yang baru. Maka, berdirilah lembaga PBB.
Senjata Nuklir dan Fase Perang Dingin
Jika setelah 60 tahun lebih PBB tetap eksis, hal ini bukan karena kemampuan PBB dalam melakukan perannya sebagai organisasi perdamaian dunia. Juga, bukan karena hebatnya Dewan Keamanan lembaga tersebut dalam mencegah munculnya perang dunia baru. Hal ini lebih dikarenakan adanya ketakutan massal akan adanya ancaman nuklir.

Meski demikian, konflik-konflik dalam skala yang lebih kecil tetap saja ada, khususnya di negara-negara miskin di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin, berhadapan dengan “penguasa lokal yang zhalim” yang merupakan boneka dari negara-negara besar yang berkuasa.
Pada awalnya, organisasi dunia ini dibuat dengan asas keadilan, persamaan hak dan saling menghormati antar negara anggotanya. Organisasi ini juga bertujuan menciptakan perdamaian dan stabilitas internasional agar tercipta iklim yang kondusif yang pada akhirnya mengarah pada meningkatnya pembangunan dalam berbagai aspek di masing-masing negara anggota.
Namun, perlahan tapi pasti, asas keadilan dan persamaan ini hilang, yang ada hanya slogan-slogan kosong. Perdamaian dan stabilitas internasional gagal diwujudkan, yang muncul adalah penguasa-penguasa dunia baru sebagai perpanjangan dari kondisi yang pernah ada pada PD I dan II.

Tatanan global dunia, kemudian berada di tangan tiga negara besar pemenang PD II, yaitu Amerika, Inggris dan Uni Soviet. Selanjutnya, bergabunglah Cina dan Prancis. Munculnya lima negara yang memiliki hak yang berbeda dengan negara lainnya ini (hak veto), jelas menimbulkan kecemburuan dari negara-negara anggota PBB yang lain.

Lima negara ini, memegang peranan asasi dalam menentukan kebijakan keamanan internasional. Lima negara ini juga menjadi anggota tetap Dewan Keamanan (DK), ditambah lagi mereka memiliki hak veto terhadap segala keputusan DK PBB. Maka Negara-negara lain menjadi santapan dan objek politik lima negara besar ini.Selain itu, pada sektor ekonomi, beberapa negara kaya berkumpul menjadi kelompok negara-negara dengan ekonomi maju dan mereka kemudian mengendalikan kendali ekonomi dunia. Sementara itu, negara-negara miskin menjadi bertambah miskin dengan sistem ekonomi dunia yang tidak berpihak pada mereka. Hingga, dunia kini menjadi korban kebobrokan ekonomi mereka.

Berikutnya, warga dunia memasuki babak baru dalam sejarahnya, yaitu babak perang dingin, hal ini ditandai dengan berdirinya NATO (1949) dan Pakta Warsawa (1955). Secara garis besar, negara-negara dunia terbagi menjadi dua blok besar; Blok Barat dan Timur. Pada kondisi seperti ini, negara-negara berkembang menjadi bulan-bulanan negara besar pada dua blok tadi.
Pertumbuhan ekonomi yang diidam-idamkan tak terwujud dan negara berkembang malah menjadi pihak yang memiliki utang dengan jumlah yang luar biasa sampai hari ini. Kesenjangan antara negara kaya dan miskin sebanding dengan 1:16 pada awal tahun 60-an, dan kemudian kesenjangan semakin menjadi-jadi yaitu 1:80 pada awal abad 21.
Tatanan Dunia Baru
Dengan runtuhnya Komunisme, muncullah tatanan dunia baru yang ditandai dengan intervensi negara kuat atas apa yang terjadi dalam negara lain.

Perhatikan bagaimana dengan seenaknya Amerika Serikat (AS) mengintervensi Somalia, negara-negara di kawasan Balkan, Afrika, Afghanistan, dan kini Irak. Selain itu, AS juga mendukung gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari pemerintahan yang sah seperti kelompok Kurdi di Irak dan di beberapa tempat yang lain. Atau memunculkan konflik antar suku seperti yang terjadi di Nigeria.AS juga menekan gerakan perlawanan rakyat yang ingin merebut kembali haknya yang dirampas seperti yang terjadi pada HAMAS di Palestina dan Hizbullah di Lebanon.

Hal ini semua, sebenarnya dapat membawa kekacauan yang luar biasa di dunia. Bahkan akan mengarah pada perang peradaban yang mungkin dampaknya akan lebih besar dibanding perang-perang yang pernah ada.

Runtuhnya Komunisme di Timur, sebagai pertanda berakhirnya babak perang dingin, tak serta merta kemudian membuat perdamaian hadir di dunia. Peperangan dalam negeri serta beragam konflik internal banyak terjadi di mana-mana.
Pada tahun 1992 saja, telah tercatat 18 konflik internal, hal ini terjadi tak hanya di beberapa negara berkembang, tapi juga di sebagian benua Eropa.

Persaingan antara negara besar memasuki babak baru. Hal yang paling menonjol adalah persaingan dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Aspek lain yang juga memicu persaingan adalah aspek budaya. Liberalisasi menyerang berbagai sektor; ekonomi, politik dan lainnya. Hal ini juga memicu munculnya kekacauan baru yang semakin menguatkan cengkeraman negara besar atas negara kecil. Dan ketika sistem ekonomi mereka mengalami kekacauan, dunia ikut menanggung akibatnya.

AS adalah salah satu negara yang memiliki pengaruh terkuat pada saat ini. Hal ini sudah nampak bahkan sebelum AS menginvasi Irak. Tepatnya pasca peristiwa 11 September yang dimanfaatkan dengan sangat baik oleh AS dalam rangka memuluskan rencananya dalam rangka menguasai berbagai sektor kehidupan khususnya di berbagai negara muslim.
Proyek Timur Tengah Raya

AS melemparkan proyek pembentukan Timur Tengah Raya sebagai jalan guna semakin menancapkan kukunya di kawasan tersebut. Hal ini juga dilakukan dalam rangka memuluskan perubahan yang terencana atas kawasan tersebut. Meskipun kebijakan AS ini membuat gejolak baru di kawasan ini, namun strategi ini tetap terus berjalan.

Semenjak runtuhnya Uni Soviet, dan AS berdiri sebagai penguasa tunggal dunia, maka dunia Islam menjadi target utama bagi mereka. Dengan alasan memerangi terorisme, maka dikuasailah Irak dan Afghanistan. Sementara dalam waktu bersamaan, dengan seenak perutnya Negara Yahudi Israel melakukan aksi terorisme serta merampas hak atas warga Palestina.

Hari ini yang menjadi sasaran utama AS dan Barat: terciptanya liberalisasi dan sekulerisasi dalam berbagai aspek; khususnya politik dan ekonomi. Jika hal ini tercapai maka penguasaan atas aspek lainnya dapat dilakukan.Ada dua cara yang ditempuh guna tercapainya hal ini: Pertama jalur pemerintah, kedua jalur rakyat. Jalur yang mungkin punya potensi konflik dan perlawanan adalah pada level rakyat atau masyarakat. Maka, strategi yang ditempuh adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat dan bukan para elit politik.

Hal yang terjadi kemudian adalah persaingan terbuka antara dua agenda besar:
1. Agenda proyek Amerika dan Barat yang saat ini sedang berada pada masa kemajuan dan perkembangan. Walaupun, situasi terakhir bisa mematahkan kesimpulan ini.
2. Agenda dan proyek Islami yang nampak mengalami kemunduran akibat berbagai problema yang menghantui selama beberapa tahun. Dan situasi terakhir, merupakan peluang besar untuk kebangkitan sistem ekonomi Islam.

Islam memiliki potensi besar yang memungkinkannya kembali maju memberikan sumbangan bagi peradaban manusia. Kini, negara-negara Barat menghadapi krisis yang hebat, menghadapi resesi,bahkan menuju depresi, seperti yang terjadi di tahun 1930 an. yang menandakan berakhirnya supremasi peradaban mereka, yang diagung-agungkan.

Tapi, dengan syarat, umat Islam memahami permasalahan yang terjadi. Dan, mau kembali pada ajaran Islam yang benar. Juga dibarengi dengan usaha menciptakan pemerintahan yang tegak atas dasar keadilan dan akhlaq yang mulia. Di situlah terjaminnya HAM, keamanan, kebebasan, juga kemerdekaan.
Wallahu A’lam.
baca selengkapnya »»

Kejahatan Korupsi Menyandera Negara (State Capture Corruption)

Di Kompilasi Oleh :
Abdul Basyir
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 1 dari 19
PENDAHULUAN
(REVOLUSI BELUM SELESAI)

Berbicara mengenai korupsi seakan tidak ada habisnya. Berbagai istilah muncul untuk menggambarkan korupsi di Indonesia. Korupsi telah mendarah-daging, berurat-berakar, menjadi perilaku sosial dll istilah untuk menggambarkan Korupsi di Indonesia.
Perang untuk melawan korupsi pun di tabuh oleh calon-calon presiden di tahun 2004. Kenyataannya saat ini adalah :

Indonesia menjadi salah satu tempat paling dihindari untuk berinvestasi. Dengan kata lain, Indonesia yang meskipun buruhnya atau tenaga kerjanya bergaji murah bahkan sangat murah, tetapi menjadi negara sangat mahal untuk berinvestasi. Hal itu karena korupsi.
Meskipun kaya akan sumber daya alam, tetapi pemimpinnya saat ini menyatakan bahwa Indonesia bukan lagi termasuk negara kaya (sumber daya alam).
Semakin meluasnya korupsi, dan semakin terang-terangan, semakin berani dan semakin tidak tahu malu. Dan Efeknya semakin banyak pejabat dari berbagai macam instansi tertangkap basah karena Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi, saat ini sudah mulai menampakkan taringnya, dan mulai menangkapi koruptor-koruptor, tetapi hal tersebut sepertinya masih pada korupsi yang recehan, yang kecil-kecil, yang milyar-milyaran, sedang koruptor besar (triliunan) belum terjamah.
Para koruptor saat ini semakin canggih memanfaatkan celah hukum dan perundang-undangan untuk memperkaya diri sendiri. Dengan berlindung dibalik kebijakan-kebijakan yang sepertinya menguntungkan negara padahal sangat merugikan baik negara apalagi rakyat.

KESALAHAN besar tampaknya telah terjadi dalam memahami arti perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh para Bapak Pendiri Bangsa. Perjuangan kemerdekaan yang menuntut pengorbanan harta, jiwa, dan raga itu, yang jelas-jelas dilatarbelakangi oleh tekad untuk membebaskan bangsa Indonesia dan tindasan dan penghisapan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, selama ini cenderung lebih dipahami semata-mata sebagai perjuangan politik. Akibatnya, proklamasi kemerdekaan dan Indonesia merdeka pun cende-rung dipahami semata-mata sebagai peristiwa dan institusi p olitik .
Padahal, dengan menyimak sejarah penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami bangsa Indonesia, dengan mudah dapat diketahui bahwa perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh para Bapak Pendiri Bangsa, terutama digerakkan oleh motif ekonomi. Hal itu sejalan dengan motif penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagaimana diketahui, motif penjajahan yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda terutama bukanlah motif politik, melainkan motif untuk mengeruk keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dari bumi Indonesia.
Sebab itu, mudah dimengerti, bila penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami bangsa Indonesia, bermula dari penjajahan yang dilakukan oleh VOC. Sebagaimana diketahui, VOC adalah sebuah kongsi dagang, bukan kongsi politik. Dalam menjajah Indonesia, tindakan pertama yang dilakukan VOC bukanlah merebut kekuasaan para raja Indonesia, melainkan memonopoli perdagangan antarpulau di Indonesia. Musuh utama VOC dalam melakukan monopoli perdagangan antar pulau itu bukanlah raja-raja Indonesia, melainkan kongsi dagang Portugal yang sama-sama bermaksud mengeruk keuntungan ekonomi dari bumi Indonesia.

Dengan memahami asal mula penjajahan tersebut, dapat disaksikan betapa penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami bangsa Indonesia, baik yang dilakukan oleh VOC, Pemerintah Kolonial Belanda, Pemerintah Kolonial Inggris, maupun yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Jepang, pada dasarnya digerakkan oleh motif untuk mengeruk keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dari bumi Indonesia. Dalam konteks VOC, motifnya bahkan sangat sederhana, yaitu untuk mengeruk keuntungan ekonomi guna melipatgandakan kekayaan perusahaan.
Kesimpulan tersebut sejalan dengan kesimpulan yang pernah dikemukakan Bung Karno dalam salah satu tulisannya di Harian Suluh Indonesia Muda, tahun 1928, "Soal jajahan adalah soal rugi atau untung; soal ini bukanlah soal kesopanan atau soal kewajiban; soal ini ialah soal mencari hidup, soal business. Semua teori-teori tentang soal jajahan, baik yang mengatakan bahwa penjajahan itu terjadinya ialah karena rakyat yang menjajah itu ingin melihat negeri asing, maupun yang mengatakan bahwa rakyat pertuanan itu hanya ingin mendapat kemasyhuran sahaja, semua teori-teori itu tak dapat mempertahankan diri terhadap kebenaran teori yang mengajarkan bahwa soal jajahan ialah soal rejeki, soal yang berdasar ekonomi, soal mencari kehidupan."
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 2 dari 19
Karena penjajahan terutama digerakkan oleh motif ekonomi, maka perjuangan kemerdekaan dengan sendirinya tidak mungkin dapat direduksi semata-mata sebagai perjuangan politik. Perjuangan kemerdekaan yang menuntut pengorbanan harta, jiwa, dan raga itu, terutama harus dipahami sebagai perjuangan ekonomi. Konsekuensinya, proklamasi kemerdekaan dan Indonesia merdeka pun tidak dapat direduksi hanya sebagai peristiwa dan institusi politik, tetapi terutama harus lebih dipahami sebagai peristiwa dan institusi ekonomi.
Sebab itulah, bila disimak pembukaan UUD 1945, pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak semula tidak hanya diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Sebagaimana diketahui, selain ditujukan untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh tanah air Indonesia, dan turut serta menciptakan perdamaian dunia, NKRI dengan sadar didirikan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, proklamasi kemerdekaan dan Indonesia merdeka, sejak semula memang dengan sadar ditujukan untuk menegakkan kedaulatan ekonomi rakyat Indonesia di negeri mereka sendiri.
Bila demikian, amanat Pasal 33 UUD 1945 dengan sendirinya harus dilihat sebagai amanat yang sangat penting kedudukannya dalam mengisi perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka. Artinya, karena perjuangan kemerdekaan sejak semula ditujukan untuk menegakkan kedaulatan ekonomi rakyat, maka Indonesia merdeka, tidak dapat tidak, harus dibangun untuk mencapai tujuan tersebut. Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 33 UUD 1945 (sebelum diamandemen), caranya adalah dengan melembagakan demokrasi ekonomi di Indonesia.
Konsekuensinya, perjalanan Indonesia merdeka yang tidak diisi dengan menegakkan kedaulatan ekonomi rakyat, lebih-lebih yang dengan sengaja ingin melecehkan pelembagaan demokrasi ekonomi di Indonesia, harus dilihat sebagai suatu pengkhianatan terhadap cita-cita perjuangan kemerdekaan. Tindakan tersebut juga harus dilihat sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi, dan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Yang mencengangkan, bila disimak perkembangan ekonomi Indonesia dalam lima - enam tahun belakangan ini, ternyata kecenderungan untuk meminggirkan kedaulatan ekonomi rakyat dan demokrasi ekonomi itulah yang tampak menonjol. Bahkan, penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan penyelenggaraan demokrasi ekonomi itu terlanjur ditiadakan. Amanat untuk melembagakan demokrasi ekonomi kini hanya ditempatkan pada urutan keempat Pasal 33 UUD 1945.
Kenyataan tersebut tentu memaksa kita untuk mempertanyakan arah yang sedang dituju oleh ekonomi Indonesia. Hal tersebut juga memaksa kita untuk mengkaji ulang perjalanan perjuangan kemerdekaan yang telah dicapai Indonesia. Benarkah Indonesia sudah merdeka? Siapakah sesungguhnya saat ini yang sedang berkuasa di Indonesia? Seperti pernah disinyalir Bung Karno, jangan-jangan revolusi memang belum selesai ?
TERMINOLOGI KORUPSI
Kalau ditelusuri, kata "korupsi" yang berasal dari kata corruptio (Latin) sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filosof Yunani kuno. Aristoteles misalnya, memakai kata itu dalam judul bukunya De Generation et Corruptione. Dalam pemahaman Aristoteles, kata korupsi—yang ditempatkan dalam konteks filsafat alam-nya—lebih berarti perubahan, meski dalam arti negatif.
Kalau kemudian Lord Acton, dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton (1887), menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal: "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" itu, menjadi jelas bahwa ada pergeseran semantis (makna). Tampak ada dua pergeseran. Yang pertama ada dalam terkaitnya korupsi dengan kekuasaan. Yang kedua adalah pergeseran pada hal yang dilukiskan. Jika makna korupsi dalam pengertian Aristoteles itu lebih melukiskan akibat yang terjadi, korupsi dalam zaman modern lebih menunjukkan sebabnya.
KORUPSI MENURUT HUKUM
Secara hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No. 20 tahun 2001. "Berdasarkan itu, korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan ke dalam kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi".
Definisi korupsi cukup banyak dan masing-masing definisi memiliki perbedaan nuansa. Akan tetapi the GOPAC Handbook on Controlling Corruption barangkali dapat kita pakai. Dalam buku itu
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 3 dari 19
dikatakan,
korupsi dipandang sebagai penyalahgunaan kekuasaan (wewenang) publik untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok yang menjadi gantungan kesetiaan. Korupsi terjadi bila seorang pejabat publik menerima, meminta, atau meminta paksa bayaran, atau bila agen privat menawarkan sebuah bayaran untuk menerobos hukum demi keuntungan kompetitif atau keuntungan pribadi (corruption as the abuse of public position for private, individual or group to whom one owes allegiance. It occurs when a public official accepts, solicits, or extorts payments, or when private agents offer a payment to circumvent the law for competitive or personal advantage).
Pengertian korupsi yang umum kita ketahui, bukanlah korupsi yang menyandera negara yang dapat menyebabkan erosi kedaulatan ekonomi, politik, hukum dan bahkan pertahanan keamanan sebuah negara. Dalam korupsi biasa itu termasuk uang sogokan (bribery) dan uang pelicin (grease payments) dari tingkat jalanan (street level) sampai ke tingkat menengah.
Dari segi motivasi atau alasan korupsi, pada dasarnya ada dua macam, yakni yang bersifat need based dan greed based Yang pertama adalah korupsi karena desakan kebutuhan atau demi survival, demi menyambung kehidupan. Di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya korupsi karena keterpaksaan itu cukup meluas. Yang kedua adalah korupsi karena dorongan keserakahan yang tidak mengenal batas. Si pelaku korupsi ingin "menelan" dunia. Padahal seperti kata Mahatma Gandhi, dunia diciptakan Tuhan dapat memenuhi kebutuhan seluruh manusia, tetapi tidak mungkin memenuhi keserakahan seorang manusia. Manusia yang serakah, apalagi kalau ia menjadi pemimpin, hanya mengenal satanomics atau ekonomi setan. Seluruh pikiran dan kegiatannya dipusatkan untuk menabrak hukum dan peraturan demi pengumpulan uang dan harta, sekali lagi, secara tanpa batas.
Akibat korupsi yang sangat jarang diliput media massa dan juga jarang dibahas dalam berbagai seminar dan simposium ini, kekayaan negara, termasuk sumber daya alamnya, dijarah tanpa henti, siang-malam, pagi-petang, selama puluhan tahun oleh korporasi asing dengan bantuan legalisasi, rasionalisasi dan justifikasi.
Kita khawatir berlarut-larutnya Indonesia jatuh atau menjatuhkan diri di bawah bayang-bayang korporatokrasi internasional disebabkan karena para pemimpin kita lebih kurang masih bermental terjajah. Bermental inlander. Sebagian pemimpin kita dan sebagian bangsa mengalami semacam proses brain-washing bahwa kita bangsa sawo-matang, mustahil dapat mencapai kemajuan, kecuali mengikuti jalan yang ditunjukkan negara-negara maju (Barat). Sebagian intelektual kita ada yang berlagak lebih Amerika dari Amerika dan memandang bangsa sendiri sebagai bangsa kelas dua. Saudara-saudara kita ini sangat memerlukan proses dekolonisasi mental dan kejiwaan.
Sampai sekarang Indonesia termasuk dalam kelompok sembilan negara terkorup di dunia bersama Haiti, Myanmar, Iraq, Guinea, Sudan, Congo, Chad dan Bangladesh. Sementara sepuluh negara dengan insiden korupsi paling kecil adalah Finland, Iceland, New Zealand, Denmark, Singapore, Swedia, Swiss, Norwegia, Australia, dan Belanda.
Di Indonesia, korupsi yang paling berbahaya, jahat dan bejat bukan korupsi biasa (korupsi administratif), tetapi korupsi yang dilakukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa, pemerintah dalam arti luas yang melibatkan eksekutif, legislatif, judikatif dan sampai batas tertentu didukung oleh sebagian media massa, lewat kolusi dengan korporasi-korporasi besar
State capture corruption ternyata mengejawantah dalam pembelian berbagai dekrit politik dan pembuatan undang-undang oleh sektor korporat dan penyalahgunaan wewenang dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Dengan kata lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli perundang-undangan, mendiktekan kontrak karya di bidang pertambangan, dan bidang-bidang lainnya seperti perbankan, pertanian, kehutanan, pendidikan, kesehatan, pengadaan air dan lain sebagainya. Akibatnya pemerintah itu sendiri hanya menjadi sekedar kepanjangan tangan kepentingan korporasi-korporasi besar.
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah sehingga tidak dapat menyembuhkan sang pasien tanpa melumpuhkannya. Yang bisa dilakukan adalah membohongi diri sendiri lagi dengan mengatakan bahwa menutup mata terhadap para penjahat ekonomi itu adalah cerminan jiwa besar yang pemaaf.. Bahwa memberikan pengampunan kepada mereka, atau membiarkannya berusaha terus secara bebas dan merdeka, adalah sikap yang realists, arif, dan bijaksana.
Bagaimana sebaiknya ? Dalam rangka memulai perbaikan, walaupun sadar akan memakan waktu sangat lama, toh lebih baik berangkat dari kejujuran dengan memberitahukan kepada masyarakat betapa besar korupsi yang ada, dilakukan dengan cara
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 4 dari 19
bagaimana, dan dilakukan oleh siapa. Mereka juga perlu diadili supaya memenuhi law enforcement dan rasa keadilan.
Tertindih hutang besar menyebabkan kita secara pasti kehilangan bukan saja kemandirian ekonomi, tetapi juga kemandirian politik. Dengan kata lain kita menjadi bangsa yang tersandera. Sementara hutang luar negeri Indonesia sesungguhnya termasuk dalam odious debt atau hutang najis. Karena selain mengalami kebocoran besar, terlalu banyak bagian hutang itu yang tidak digunakan sesuai rencana. Selain dikorupsi oleh Para pejabat atau penguasa, oleh rezim yang sedang berkuasa sebagian hutang digunakan untuk memasung rakyatnya sendiri dan mengawetkan sistem pemerintahan otoriter.
Dalam era reformasi, tabiat kecanduan hutang belum terkikis sama sekali. Setiap tahun ketika pemerintah bersama DPR menetapkan APBN, dari hari pertama APBN itu sudah mengalami defisit. Defisit itu mencapai angka sekitar 73,3 trilyun rupiah (APBN 2008). Pemerintah begitu enak dan nikmat membuat APBN yang berdefisit tinggi. Mengapa? Karena, seperti kata seorang petinggi, don't worry and be happy, defisit itu toh bisa ditutup lewat hutang baru atau jualan BUMN ke pihak asing. Tidak pernah terlintas dalam benak sang pejabat itu untuk menjadikan Indonesia negara yang kuat, mandiri dan terlepas dari perangkap hutang.
Kini saatnya para pemimpin meresapi kata-kata mutiara : "siapa yang tidak mau belajar dari sejarah, pasti akan mengulanginya" (Those who don't learn from history, are doomed to repeat it). Arnold J. Toynbee pernah mengingatkan bahwa peradaban-peradaban mati karena bunuh diri, bukan karena dibunuh. Civilizations die from suicide, not by murder.
Akan tetapi keruntuhan atau kemerosotan itu, sesuai dengan hukum besi sejarah pasti memerlukan waktu dalam hitungan dekade atau dasawarsa. Sementara itu hukum globokrat dan korporatokrat akan terus berusaha menguasai dunia dengan segala cara yang tersedia.
KORUPSI YANG MENYANDERA NEGARA
Menjelang kejatuhan rezim orde baru Soeharto, Maret 1998 Bank Indonesia (BI) menyatakan hutang luar negeri Indonesia sekitar US$ 137,424 miliar, jauh di atas ambang batas yang US$ 100 miliar. Dan hutang sebesar gunung itu US$ 63,732 miliar adalah hutang pemerintah. Jadi lebih separuhnya atau US$ 73,962 miliar merupakan utang swasta besar alias konglomerat, dan US$ 10,5 miliar di antaranya berjangka pendek. Sebagian besar utang ini berasal dari bank komersial yang mengenakan persyaratan berat: berjangka pendek dan berbunga tinggi. Itu belum termasuk utang Grup Sinar Mas milik konglomerat gaek Ekatjipta Widjaja (Oei Ek Tjhong) sekitar US$ 14 miliar yang baru terungkap akhir 1999. Ternyata akumulasi hutang tersebut telah terjadi selama kurun waktu 32 tahun pemerintahan Soeharto.
Utang domestik pemerintah terjadi lewat jalur yang lebih aneh. Awalnya dunia perbankan kelojotan di terpa krisis tahun 1998. Penyebabnya sederhana, salah urus dan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) yang mengalir ke usaha-usaha pribadi si pemilik bank. Atau mengalir ke usaha fiktif juga milik empunya Bank atau konco-konconya. Ketika kebobrokan bank terbongkar oleh badai krismon, orang panik dan menarik dana-dana mereka dari perbankan.
Untuk membantu perbankan BI menggelontorkan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sejumlah lebih dari 144 triliun – tanpa reserve. Kemudian juga atas desakan IMF pemerintah Indonesia juga mengeluarkanobligasi sebesar Rp. 430 triliun untuk menyehatkan perbankan. Pertanyaannya, kenapa obligasi bukan dana segar ? Obligasi yang diterbitkan dan kemudian dibagi-bagikan kepada perbankan nasional kala itu kan menyebabkan pemerintah menjadi mempunyai hutang kepada mereka dan berkewajiban memberikan bunga dari obligasi tersebut.
Menurut Kwik Kian Gie, Menko Perekonomian pada Kabinet Persatuan Abdurrahman Wahid — Megawati dan Ketua Bappenas pada Kabinet Gotong-royong Mega — Hamzah, Obligasi justru diberikan karena pemerintah Indonesia ketika itu tidak mempunyai uang untuk menyehatkan perbankan. Mulanya obligasi itu cuma untuk digunakan sebagai instrumen saja. Bila banknya sudah sehat, obligasi tersebut bisa ditarik kembali. Namun, ketika sudah sehat dan bebas dari kredit macet, atas desakan IMF pula, bank-bank rekap itu mesti dijual bersama obligasinya. Lalu demi memelihara kepercayaan internasional, bank-bank itu jatuh ke tangan asing atau konsorsium. Begitulah pemerintah tiba-tiba masuk ke dalam jebakan utang (debt trap) yang kedua setelah utang luar negeri.
Pada era Megawati itu korupsi bersifat state-capture atau state
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 5 dari 19
hijack dalam bentuk pemberian release and discharge, yaitu pelepasan dan pembebasan para obligor yang berhutang kepada negara dalam jumlah trilunan rupiah. Dilihat dari sisi lain, sebuah penyelesaian di luar hukum itu, hakekatnya merupakan penyanderaan lembaga-lembaga pemerintahan oleh sejumlah konglomerat bermasalah.
Menteri Keuangan, Ketua BPPN, Menteri BUMN, Jaksa Agung dan para Menteri Koordinator dengan sepengetahuan Presiden, melakukan rekayasa di luar jalur hukum lewat persetujuan MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreemnet), dengan penyalahtafsiran Tap. MPR No X/2002 dan Propenas untuk melayani kepentingan beberapa konglomerat jago kandang yang mendirikan bank jadi-jadian. Pada intinya skandal R&D itu adalah dilepas dan dibebaskannya para obligor yang melakukan pelanggaran legal lending limit atau batas maksimum pemberian kredit dan membuat non-performning loans atau penilepan uang negara. Mereka membayar kembali kepada pemerintah lewat penyerahan aset berupa sejumlah perusahaan.
Tetapi para penilai aset yang diserahkan ke pemerintah itu mendongkrak harga aset itu jauh di luar kewajaran, sehingga negara dirugikan triliunan rupiah. Misalnya Group Salim mempunyai hutang sekitar 52 triliun rupiah, kemudian menyerahkan aset yang dinilai oleh penilai aset seharga sekitar 50 triliun rupiah. Nilai sesungguhnya aset itu hanya 29,5 triliun rupiah sehingga mengalami marked-up secara kelewatan. Dengan proses bim-salabim, Group Salim dihadiahi Release and Discharge (R.& D). Bayangkan, "tengkuk" negara dipegang oleh para konglomerat bermasalah untuk melindungi korupsi mereka, pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi utang publik Rp 600 triliun.
Dirubahnya utang swasta menjadi utang publik sebesar itu tentu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Jadi setelah menggelontorkan dana segar Rp 144 triliun dan bersusah payah membenahi puluhan bank sakit dengan mengeluarkan dana Rp. 430 triliun, pemerintah bukannya menuai hasil dan pujian, tapi malah mendapat tambahan utang ajaib Rp 600 triliun. Hal tersebut karena kehebatan obligasi rekap segede gunung itu (Rp. 430 triliun) berbunga pula sekitar 12,5%. Jadi pembelinya mendapatkan bank sehat, plus obligasi besar berbunga tinggi. Harganya? Tak perlu khawatir, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), entah belajar berhitung dari siapa, berani menawarkannya dengan harga super miring. Saat itu BPPN memang sedang mengejar setoran demi menutup bolong-bolong anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tidak percaya? Marilah kita ambil contoh BCA.
Seperti diketahui obligasi pemerintah yang melekat di BCA sebesar Rp 58 triliun. Setiap tahun, pemerintah menyusui BCA Rp 7 triliun atau Rp 500 miliar lebih/bulan sebagai pembayaran bunga obligasi. Setelah dinyatakan sehat dan keluar dari bangsal `rumah sakit` BPPN, 51% saham BCA kernudian jatuh ke tangan konsorsium Farallon (AS) dan Djarum dengan harga bantingan Rp 5,3 triliun. Artinya dengan dana Rp 10 triliun saja, konsorsium Farallon sudah bisa mendapatkan bank swasta terbesar di Indonesia (memiliki 15 juta nasabah, 700 cabang dan 1.800 ATM di seluruh tanah air), ditambah obligasi rekap senilai Rp 58 triliun. Nampaknya meski kelihatan kren dan pintar-pintar, para petinggi BPPN dan PPA (Perusahaan Pengelola Aset) yang menjadi kelanjutannya, perlu mengambil kursus tambahan kepada Sampoerna yang bisa menjual perusahaan rokoknya seharga Rp 18 triliun. Dibanding BCA, perusahaan rokok itu jelas tak ada apa-apanya.
Padahal dengan obligasi sebesar Rp 58 triliun saja, yang menjanjikan penerimaan bunga Rp 7 triliun/tahun, maka dapat dipastikan dalam 2 tahun Farallon sudah balik modal. Bahkan melaba Rp 4 triliun. Itulah `subsidi' yang harus dikeluarkan pemerintah buat konsorsium Farallon-Djarum yang sudah mau membeli BCA dengan harga obral. Ya, BPPN harus diakui telah mengobral ayam petelur emas semacam BCA dengan harga kelewat murah. Tentu diperlukan investigasi menyeluruh terhadap para petinggi BPPN kala itu. Bahkan seandainya BCA tidak ikut dijual. Artinya pemerintah cuma menerbitkan obligasi atau surat utang negara (SUN) senilai Rp 58 triliun dengan bunga tetap 12,5% setahun, mencapainya Rp 10 triliun (tak sampai 20% dari nilanya) itu pun sudah terlalu murah. Apalagi bila pembeli obligasi tersebut masih mendapat bonus bank swasta terbesar di Indonesia pula. Sementara mantan petinggi BPPN mendapat posisi direktur atau komisaris di bank-bank rekap yang telah diobral itu, getahnya terus membaluri rakyat dan pemerintah Indonesia. Sejak itu para pemilik baru bank rekap tersebut (BCA, Bank Danamon, Bank Permata, dan lain-lain) mesti disubsdidi lewat APBN.
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 6 dari 19
Melalui Kompas tanggal 4 Mei 2002, Kepala Pusat Manajemen Obligasi Negara (PMON), Fuad R. Rachmany, menyatakan bahwa kalau kita berbicara tentang OR bank, total kewajibannya "hanya" Rp 1.030 triliun (Seribu Tiga Puluh Triliun). Apa yang akan dilakukan dengan utang sebesar itu? Apakah pada tanggal jatuh temponya akan dibayar betul? Kalau ya, diambil dari mana uangnya? Dapat dipastikan pemerintah tidak memunyai uang untuk membayarnya. Kalaupun dipaksa diadakan sangat konyol, karena semua itu nanti diberikan kepada pembeli swasta seperti halnya dengan BCA.
Namun bukan berarti jaman Yudhoyono berbeda. SBY pernah menyatakan bahwa ia akan menempuh penyelesaian masalah BLBI sebagaimana telah dilakukan president-president terdahulu. Padahal pada saat kampanye masalah BLBI juga menjadi janji-janji kampanyenya yang mengusung tema PERUBAHAN. Media di tanah air pernah digemparkan ketika 3 orang pengemplang BLBI dapat melenggang masuk istana pada Februari 2006. Tentu dapat dibuat berbagai dalih dan alasan, mengapa istana, tempat bersemayamnya jantung kekuasaan, dapat menggelar karpet merah buat para musuh besar bangsa dan negara itu.
Tahun 2004, misalnya, Kabinet Gotong-Royong Mega-Hamzah telah membayar pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri sebesar Rp 139,4 triliun. Kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK, yang kala itu Baru terbentuk, telah membayar Rp 126,315 triliun pada 2005: cicilan utang pokok Rp 61,614 triliun dan bunga Rp 64,691 triliun. Lebih rendah Rp 17,2 triliun dari yang dianggarkan, karena mendapat moratorium akibat bencana tsunami di Aceh dan Nias.
Tahun 2006, SBY-JK tak sempat menugaskan anggota kabinetnya memperjuangkan keringanan di forum internasional. Kealfaan meminta keringanan di forum internasional itu, memaksa pemerintah menganggarkan Rp 140 triliun lebih untuk membayar utang.
Dalam APBN 2006 untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri pemerintah telah mengalokasikan Rp 140,22 triliun (4 kali lebih besar daripada anggaran pendidikan yang dijatah coma Rp 34 triliun). Rinciannya: pembayaran beban bunga Rp 76,63 triliun dan cicilan utang pokok Rp 63,59 triliun.
TELADAN DARI NEGERI SEBRANG
Di bawah ini kita lihat sebentar para pemimpin Dunia Ketiga (negara-negara berkembang) yang sudah melepaskan diri dari mentalitas terjajah. Dalam Bahasa kita, mereka bukan pemimpin inlander. Lihatlah "Bung Karno"nya Malaysia, Dr. Mahathir Mohammad. Ketika Malaysia dihantam krisis moneter pada 1997 bersama Korea Selatan, Thailand, Indonesia, dan Filipina, semua negara ini terjun bebas secara moneter. Semua negara menerima uluran bantuan IMF dengan kadar berlainan, kecuali Malaysia.
Mahathir tidak berminat sama sekali menggandeng IMF. Ia tantang habis ortodoksi IMF dan seluruh resepnya ia lawan. Tidak ada model SAP (Structural adjustment programs), ringgit Malaysia tidak diambangkan vis-a-vis dolar, tidak ada pencabutan subsidi untuk rakyat sendiri, dan proses pembangunan tidak ada yang berhenti. Karena menolak IMF, sebagian tokoh Malaysia menyindir IMF sebagai kepanjangan It's Mahathir's Fault, yang kira-kira berarti itu semua kesalahan Mahathir.
Mahathir memang seperti Bung Karno. George Soros, raja uang di New York, karena menjadi biang spekulan-uang yang merontokkan banyak negara Asia, termasuk Indonesia, disebut Mahathir sebagai moron, sangat tolol. Sedangkan spekulan-spekulan lainnya disebut sebagai brigands (maling jalanan), robbers (perampok), anarchists dan manipulators. Soros menyerangbalik dengan menyebut Mahathir sebagai bahaya masyarakat dan ancaman buat negerinya sendiri. Akibatnya, pasar, kata Para pengamat, berdebar-debar dan ringgit semakin ambles. Dalam dua bulan ringgit terjun bebas merosot 24 persen.
Gentarkah Mahathir? Tidak. Dengan melawan resep IMF yang menurut Mahathir berbau neoimperialis itu, ditambah dengan pengawasan ketat arus modal asing, semua pengamat ekonomi memprediksi Malaysia bakal hancur. Ternyata Mahathir benar, IMF keliru. Dengan melawan resep dukun ekonomi, IMF, Malaysia justru makin mantap dan kuat, sampai sekarang. Ibarat pertandingan tinju, Mahathir dielu-elukan karena menang, sedangkan IMF digotong keluar ring dan disuruh istirahat saja. Dengan bangga Máhathir mengatakan "I did it my way, and it's worked" ."
• Ketika Mahathir turun panggung pada 2003, setelah sejak 1981 memimpin Malaysia, prestasi Mahathir diukir lewat nasionalisme industri (terutama industri pertambangan). Investasi asing juga digalakkan, terutama semua aturan main ditentukan sepenuhnya oleh Malaysia sendiri. Bapak Malaysia ini dikenang antara lain berani mengisolasi Malaysia dari pasar finansial global pada saat dilanda krismon tahun 1997. Hasilnya lumayan
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 7 dari 19
menakjubkan. Ketika Mahathir pertama kali menjadi Perdana Menteri, seperempat (25%) penduduk Malaysia tergolong miskin. Ketika ia lengser, tinggal 5% penduduk yang tergolong miskin. Penghasilan per capita Malaysia juga melonjak 3 kali, kini sekitar sepuluh ribu dolar.67
Nigeria dan Pakistan adalah sedikit contoh negara yang ternyata dapat meminta pemutihan hutang pada kreditor internasional mereka, dengan alasan hutang yang dibuat rezim sebelumnya termasuk hutang najis. Tetapi kita, tidak mau minta pemutihan hutang, karena ingin nampak lebih gagah, lebih "ksatria". Jangan sampai Indonesia dicap sebagai bad boy, anak nakal. Di mata IMF, Bank Dunia, IGGI, Asian Development Bank, dan CGI (Consultative Groups on Indonesia), Indonesia ingin jadi nice bgy, anak manis dan penurut. Bahwa jumlah cicilan hutang luar negeri kita sudah jauh melampaui jumlah hutang itu sendiri, tidak pernah kita pertimbangkan sama sekali.
Pelajaran penting buat Para tokoh yang masih bermentalitas inlander adalah apa yang dilakukan Bolivia. Sejak 1 Mei 2006 seluruh industri gas alam di Bolivia dinasionalisasi secara penuh. Hanya ada dua pilihan bagi korporasi asing yang selama itu telah menjarah sumber daya alam Bolivia lewat kontrak karya dan kontrak production sharing, yang terlalu menguntungkan mereka secara ugalugalan. Dua pilihan itu adalah expulsion or nationalization. Ternyata Exxon Mobil Amerika Serikat, Total Perancis, Repsol Spanyol, British Petroleum dan semua korporasi asing tidak ada yang hengkang, semua tetap menambang di Bolovia dengan kontrak baru yang jauh menguntungkan Bolivia.
Berkat nasionalisme atau renegosiasi radikal terhadap aturan main kegiatan industri tambang yang baru, penghasilan (revenue) Bolivia melonjak 6 kali (sekali lagi 6 kali) dibandingkan apa yang diperoleh Bolivia pada 2002. Bisakah Indonesia mengambil pelajaran dan Bolivia? Bersama kita bisa! Kalau kita berani.
Tokoh Amerika Latin lainnya yang sudah melakukan dekolonisasi mental adalah Presiden Ecuador, Rafael Carrera. Ia sudah memutuskan untuk tidak memperpanjang pangkalan militer Amerika Serikat di pangkalan udara Manta, di pantai Pasifik Ecuador. Presiden Ecuador akan menutup pangkalan militer Amerika Serikat yang segera berakhir pada 2009.
Para pemimpin China dan India tidak pernah latah menelan mantra-mantra globalisasi yang dijajakan oleh IMF, World Bank dan WTO. Mereka sudah lama meninggalkan mentalitas inlander. Sikap yang percaya diri, berdaulat, merdeka, dan disertai dengan kreativitas dan kerja keras telah "menyulap" dua negara berkembang Asia ini menjadi kekuatan ajaib yang telah mengguncangkan statusquo internasional."
Bahkan China diperkirakan oleh banyak pengamat dapat meng-overtake atau menyalib ekonomi Amerika Serikat dalam sate dua dasawarsa mendatang, ceteris paribus.
Nah, sekarang kita lihat negara-negara yang masih agak kerasan dengan mentalitas terjajah. Dengan kata lain kolonisasi pikiran yang ditinggalkan penjajah puluhan tahun lalu masih saja membekas dalam psyche atau kejiwaan para pemirnpin negara-negara itu. Kebetulan negara-negara itu ada di benua Afrika. Mengapa Afrika tetap saja miskin? Jawabannya: Africa is poor because she is not free. Memang, Africa miskin karena belum merdeka.
MENGGUGAT FREEPORT
Mentalitas inlander kita juga nampak jelas dalam kita mengelola kekayaan tambang kita, baik migas maupun non migas. Freeport MacMoran di Papua (Irian Jaya), sejak 1967 menambang emas, perak, dan tembaga di provinsi Indonesia paling timur yang kaya raya dengan sumber daya alam itu. Kontrak Karya I diperbarui pada 1991 untuk masa setengah abad, sehingga Kontrak Karya II baru berakhir pada 2041. Bayangkan, tatkala generasi, Yudhoyono, Jusuf Kalla dan seanteronya sudah lama jadi almarhum, Freeport masih terus menguras habis kekayaan alam Papua.
Jika pemerintah berani (sayang, pemerintah tidak berani), yaitu berani menegosiasi ulang kontrak karya pertambangan yang merugikan rakyat, Indonesia akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing.7
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 8 dari 19
"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang". Kata-kata Stiglitz ini seharusnya menjadi wake-up call, menjadi penggugah kita supaya kita berhenti menjadi bangsa yang "bodoh" atau "pura-pura bodoh". Dengan kata lain kita harus mampu menghentikan perampokan atau penjarahan oleh berbagai korporasi asing yang berlindung di balik kontrak karya yang sesungguhnya tidak masuk akal itu. Stiglitz jugs bercerita bagaimana seorang duta besar Amerika Serikat memberikan kuliah agar Indonesia menghormati kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi korupsi, sementara dia sedang mempraktikkan korupsi itu s
Bukan itu saja. Selama di Indonesia Stiglitz memperkenalkan kembali sebuah istilah yang kita anggap tabu dan haram kita sebutkan, karena begitu takutnya kita mendengar istilah itu, yaitu nasionalisasi. "Sebaiknya eksplorasi migas di Indonesia di-nasionalisasi", demikian pernyataannya.
Di Malaysia, Brazil, Chili dan Norwegia misalnya, pertambangan yang digarap sendiri oleh pemerintah ternyata mendatangkan untungan lebih besar dibandingkan bila diberikan kepada korporasi asing. Negara-negara Amerika Latin telah dengan jelas menunjukkan bagaimana negosiasi ulang mampu mendatangkan keuntungan jauh lebih banyak dan ternyata tidak ada perjanjian atau kontrak karya yang tidak dapat dinegosiasi kembali. Venezuela dibawah Hugo Chavez dan Bolivia di bawah Evo Morales membuktikan hal itu.
Mengapa Indonesia takut untuk sekedar meminta negosiasi? Kalau nasionalisasi dianggap terlalu ekstrim, terlalu revolusioner, bukankah ada jalan lain untuk mencapai keadilan demi perbaikan nasib Indonesia sendiri, yaitu lewat negosiasi ulang? Mengapa Indonesia tiba-tiba kehilangan keberanian dan sekaligus ke-mandiriannya sebagai bangsa besar, bangsa terbesar nomor 4 di muka bumi (setelah China, India dan Amerika Serikat)?
Paling tidak ada empat alasan mendasar bahwa sudah tiba waktunya kita segera menuntut negosiasi ulang atas seluruh kontrak karya pertambangan yang merugikan bangsa Indonesia selama puluhan tahun terakhir ini.
1. Doktrin pacta sent survanda harus dipahami sekaligus dengan klausula rebus sic stantibus, sebagaimana diuraikan secara singkat di atas. Bila sebuah kontrak atau perjanjian ternyata dalam pelaksanaan merugikan salah sate pihak, maka pihak yang dirugikan berhak merundingkan kembali kontrak atau perjanjian tersebut. Negara,-negara, berkembang yang cukup cerdas sudah melakukannya. Kapan Indonesia menjadi bangsa yang cerdas?
2. Pasal 1 ayat 2 The International Rights Covenant on Civil and Political Rights mengatakan semua bangsa, untuk mencapai tujuannya memiliki kebebasan untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alamnya. Dalam pasal ini juga dikatakan bahwa kerjasama ekonomi internasional harus didasarkan pada prinsip saling—untung dan pada hukum internasional. Tidak dibenarkan suatu bangsa kehilangan atau dihilangkan hak hidupnya.

(All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic corporation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case a people be deprived of its means of subsistence).
Jadi tidak ada alasan sampai kita takut mengelola kekayaan alam kita sendiri, apalagi untuk kesejahteraan bangsa kita sendiri pula.
3. Tafsir yang agak luas atas Universal Declaration of Human Rights (1948) memberikan kita keyakinan bahwa melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam yang kita miliki untuk bangsa Indonesia sendiri adalah salah satu bentuk hak asasi manusia. Pasal 3 dan 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk menikmati hidup, kebebasan dan keamanan. Tidak diperkenankan ada seseorang yang dikungkung dalam perbudakan dan penghambaan. Seorang pakar mengatakan bahwa, "each peoples right to its resources is a human right", hak setiap orang/ bangsa untuk menguasai kekayaan alamnya adalah hak asasi ma-nusia.
4. Kita sudah merdeka lebih dari 6 dasawarsa. Sudah sangat terlambat kalau masih saja mengabaikan pesan UUD 1945 pasal 33 ayat 3: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 9 dari 19
dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat". Kontrak Karya Pertambangan (KKP) di dunia pertambangan non-migas maupun Kontrak Production Sharing (KPS) di dunia migas hampir tanpa kecuali merugikan Indonesia dan kelewat menguntungkan investor asing. Karena kebanyakan operatorship pertambangan kita dipegang oleh pihak korporasi asing, maka cost recovery yang dibuat oleh investor asing selalu mengalami mark-up sampai tingkatan yang penuh dengan skandal manipulasi. Kurtubi mengatakan bahwa perjanjian-perjanjian yang menghisap kekayaan negara itu hakekatnya adalah warisan penjajahan.9
Pertanyaannya adalah mengapa para pengelola negara kita begitu kerasan, begitu merasa "at home" dengan penjajahan dan penghinaan nasional itu? Selain kemungkinan kurang informasi atau rasa takut tanpa dasar, yang paling mungkin adalah karena para pengelola negara itu memegang teguh kepentingan picik dan sempitnya. Kepentingan picik dan sempit itu berupa keuntungan pribadi, keluarga atau kelompok kecil dan melupakan sama sekali kepentingan bangsa yang lebih luas dan. besar. Tidak tertutup kemungkinan adanya penyogokan gelap.
Korporasi Amerika itu melakukan beberapa kejahatan sekaligus. Pertama, kejahatan lingkungan: tailings atau buangan limbah yang setiap hari berjumlah 300 ribu ton telah menjadikan sistem sungai Aghawagon-Otomona - Ajkwa mengalami kerusakan total. Tidak ada lagi ikan dan tanda-tanda kehidupan lainnya di sana. WALHI sudah sejak lama menuntut agar Freeport, yang telah melakukan ecocide (pembunuhan lingkungan), segera ditutup dan dilakukan audit total. Ratusan km persegi hutan di sekeliling Grasberg kini sudah menjadi padang tandus tanpa kehidupan. Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif WALHI,89 mengatakan bahwa kematian sungai-sungai Aijkwa, Aghawagon dan Otomona, buangan tanah, batu-batuan dan tailings yang terus menumpuk serta kematian ekosistem di daerah sekitar. Menurut harian The New York Times 27 Desember 2005, volume buangan limbah Freeport sudah dua kali lebih besar dibandingkan kedukan terusan Panama. Jika di Jakarta buangan limbah Freeport mampu menutupi kota Jakarta, Depok dan Bekasi se tinggi 5 meter lumpur beracun. Pertambangan Freeport berarti lenyapnya sebuah lingkungan hidup yang tidak dapat dikompensasi dengan cara apa saja.
Sebuah badan pemerintahan Amerikat Serikat yang mengikuti berbagai penyelewengan korporasi Amerika di luar negeri (Overseas Private Investment Corporation) mencabut asuransi Freeport pada Oktober 1995. Asuransi itu tidak dapat diperpanjang karena kejahatan lingkungan yang dilakukan Freeport. Beberapa tahun lalu sebuah Yayasan Pensiunan. di Norwegia juga menarik sahamnya dari Freeport, karena tidak tega melihat kematian ekosistem di zona pertambangan Freeport. Dulu, Sony Keraf, ketika menjadi Menteri Lingkungan Hidup (2000), tatkala kerusakan ekologi di Papua belum separah seperti sekarang, sudah menggebrak Freeport supaya menghentikan kejahatan pembunuhan lingkungan. Tetapi Freeport, merasa lebih kuat dari pemerintah Indonesia, tidak menggubris. Nah, Pemerintahan Yudhoyono sekarang anehnya nampak lebih membela kepentingan Freeport daripada kepentingan bangsa. Demo besar-besaran yang dilakukan ribuan mahasiswa Papua di tahun 2006 untuk meninjau ulang keberadaan Freeport di Indonesia juga tidak diperhatikan.
Kedua, Freeport juga melakukan kejahatan perpajakan. Beberapa insinyur Indonesia mengatakan bahwa alat-alat berat sampai alat-alat elektronik rumah tangga di Tembagapura masuk begitu saja lewat jalur khusus tanpa membayar pajak. Belum lagi "pembukuan" cash-in dan cash-out Freeport yang nampaknya tidak mungkin dapat diketahui oleh pihak Indonesia.
Dalam kontrak karya I I Indonesia - Freeport, ada sejumlah paragraf rahasia yang tidak boleh diketahui oleh pihak luar, bahkan oleh DPR-RI. Bukankahini sebuah penghinaan terhadap kalaulatan bangsa ? Bagaimana mungkin rakyat Indonesia tidak boleh mengetahui urusan yang menyangkut nasibnya ?
Ketiga, kejahatan etika dan moral dilakukan oleh Freeport dengan memberi uang sogokan kepada oknum-okniim polisi dan militer dengan dalih administrative costs, security costs dan dalih-dalih lainnya. Harian New York Times 27 Desember 2005 menulis sangat panjang tentang berbagai hal negatif mengenai Freeport. Koran Amerika itu bahkan menyebut nama-nama penwira menengah dan tinggi TNI dan POLRI yang mendapat kucuran dolar dari Freeport. Di samping 35 juta dolar dikeluarkan Freeport untuk ikut membangun infrastruktur militer, 70 Land Rovers dan Land Cruisers diberikan pada Para komandan. Di sinilah rasa nasionalisme kita terusik. Andaikata Kontrak Karya Freeport tidak diperpanjang dan tambang emas terbesar di dunia itu dikelola Indonesia sendiri, misalnya oleh PT Aneka Tambang, jangankan hanya 70, pengadaan 70 ribu Land Rover dan Land Cruisers bukanlah masalah besar. Sayangnya, ini hanya andaikata. Andai saja kita tidak bermental inlander.
Sudah saatnya Indonesia mengakhiri penjajahan dan penghinaan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia itu. Bayangkan, dana pensiun pemerintah Norwegia saja, mencabut investasinya di Freeport Mc Moran Copper and Gold Inc. senilai US$ 240 juta atau sekitar Rp 2,16 triliun. Alasannya, Freeport telah menghancurkan ekologi Papua. Nah, Pemerintah Norwegia yang belasan ribu km jauhnya dari Indonesia, merasa berdosa kalau ikut menghancurkan lingkungan Papua, sementara kita begitu tenang dan merasa tidak bersalah
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 10 dari 19
sama sekali. What kind of nation are we ? What kind of government do we have ? Bangsa dan pemerintah macam apa kita ini ?
Keempat, kejahatan kemanusiaan. Tujuh suku Papua yang punya hak ulayat digusur begitu saja dari tanah warisan turun temurun dan di antara mereka meninggal karena peluru satgas Freeport. Chris Ballard, anthropolog Australia yang pernah bekerja di Freeport dan Abigail Abrash, pembela hak asasi manusia dari Amerika, memperkirakan sekitar 160 orang terbunuh antara 1975-1997 di daerah pertambangan dan sekitarnya.
Kelima, dan yang terakhir ini cenderung dilupakan, kejahatan menguras kekayaan Indonesia lewat manipulasi administrasi dan menjadikan pusat pertambangan Freeport sebagai industri pertambangan misterius dan rahasia. Kekayaan Freeport sesungguhnya jauh lebih besar daripada kekayaan yang diungkap dalam laporan resminya. Kalau Freeport dapat mengakuisisi Philip Dodge Corp dengan membayar tunai 70% dari 25,6 milyar dolar, tentu kekayaan Freeport sesungguhnya jauh lebih besar dari pada apa yang dilaporkan ke Indonesia, sebagai pemilik dan pemangku kekayaan alam di Papua itu."
Pertambangan PT Freeport Indonesia adalah sebuah pertambangan babon. Dan jangan lupa, izin pertambangannya baru akan berakhir pada 2041, takkala angkatan Presiden Susilo dan Wapres Kalla, kira-kira sudah berada di alam baka. Pada saat Freeport meninggalkan Papua, selain reserve tembaga, emas dan Perak di sana sudah Ludes, lingkungan alamnya di sana juga sudah hancur lebur menyeramkan. Maaf, hanya manusia idiot atau embisil saja yang masih menanyakan bukti pelanggaran atau kejahatan Freeport.
KETENTUAN ROYALTI EKSPLOITASI/ PRODUKSI FREEPORT
• Bahwa sistim royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih, yaitu penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat.
Bahwa dalam hal besaran, prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih tersebut) juga tergolong sangat kecil. Yaitu 1% - 3,5% tergantung pada harga untuk konsentrat Tembaga, dan 1% f/at/fixed untuk logam mulia (Emas dan Perak).
Meskipun dalam praktik industri pertambangan di dunia tidak ada suatu metode dan besaran yang Baku menyangkut sistim dan prosentase yang diterapkan, tetapi royalti untuk emas danperak, dan 1% - 3,5% yang keduanya didasarkanatas penjualan bersih tersebut dapat dikatakan tergolong sangat rendah.
• Negara-negara Afrika seperti Bostwana, Ghana, Namibia, dan Tanzania menerapkan royalti emas dalam rentang 3% -12% dari penjualan kotor, dan masih dapat dinegOsiasikan/disesuaikan dengan harga yang berlaku. Sedangkan untuk tembaga, negara-negara tersebut menerapkan 3%-8% royalti yang juga didasarkan atas penjualan kotor. Di Australia, royalti untuk tembaga berkisar antara 4% -18% yang didasarkan atas penjualan bersih, sedangkan yang didasarkan atas penjualan kotor berkisar antara 2,7% - 5%. Hal yang sama juga diterapkan untuk emas. Di negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Bolivia, Republik Dominika dan Venezuela, royalti untuk emas bervariasi antara 3% - 7% di mana prosentase tersebut pada umumnya (kecuali Argentina) juga didasarkan atas penjualan. kotor. Hal yang sama diterapkan untuk tembaga, dengan besaran royalti bervariasi antara 1% -5%. (Otto, James , et al . 2006. Mining Royalties: A Global Study of Their Impact on Investors, Government, and Civil Society).
KETENTUAN IURAN TETAP WILAYAH PERTAMBANGAN (DEADRENT)
Di dalam kontrak Freeport (Lampiran D), besarnya iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara 0,025 — 0,05 US dolar per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), 0,1 — 0,35 US dolar per hektar per tahun untuk kegiatan Eksplorasi, 0,5 US dolar per hektar per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan 1,5 — 3 US dolar per hektar per tahun untuk kegiatan Operasi Eksploitasi/Produksi.
Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat sangat kecil dan bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US dolar = Rp. 9.000,00, maka besaran iuran itu hanya berkisar antara Rp. 225,00 — Rp. 27.000,00 per hektar per tahun. Sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan sewa lahan sawah oleh petani penggarap yang murah sekalipun
Dengan modal mentalitas inlander itu kita mengiyakan terus langkah Freeport. Mentalitas budak memang sungguh aneh. Pertama, seorang budak siang malam harus menjaga perasaan tuannya. Tuannya jangan sampai tersinggung, apalagi marah. Kedua, selalu memenuhi secara berlebihan setiap permintaan tuannya.
EXXON DAN BLOK CEPU
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 11 dari 19
Boleh saja Pemerintahan Yudhoyono berdalih kita hanya melanjutkan Kontrak Karya masa lalu untuk Freeport. Tetapi bagaimana dengan Blok Cepu, yang lead operatorshipnya diberikan sepenuhnya kepada Exxon Mobil dengan KKS (Kontrak Kerja Sama) yang berlaku sampai 2036? Pada zaman Yudhoyono Kalla? Dalam tulisan ini tidak mungkin dibahas segi-segi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah, negativisme yang diperoleh bangsa dengan menjadikan ExxonMobil sebagai majikan dan Indonesia sebagai pelayan dan lain sebagainya.
Kasus penyogokan untuk para petinggi Kazakhstan yang dilakukan oleh agen bernama James Giffen yang bekerja untuk Exxon Mobil mencuat karena sempat bocor di pers. Sogokan Giffen sebesar 78 juta dolar Amerika itu tidak sia-sia. Yang disogok tidak tanggung-tanggung. Presiden Nursultan Nazarbayev dan menteri minyaknya, Nurlan Balgimbayev. Dalam liputan pers internasional sogokan itu dikenal sebagai kazakhgate. Berkat sogokan lumayan besar itu, Exxon Mobil mendapat perlakuan istimewa. Exxon Mobil memperoleh 25 persen bagian di ladang minyak Tengiz.
Sebenarnya jika kita mau melihat track-record Exxon di Indonesia rasanya mustahil Blok Cepu di serahkan ke Exxon(Mobil). Tahun 1970-an, Indonesia amat bangga mempunyai pabrik pupuk uria besar di Aceh – yaitu pabrik Pupuk Iskandar Muda (PT. Pupuk Iskandar Muda) dan Pabrik Pupuk Asean (PT. Asean Aceh Fertilizer). Saat itu pabrik –pabrik pupuk tersebut sangat terkenal dan menjadi “simbol kemandirian” pertanian Indonesia. Bahkan – kulitas pupuk urea hasil PT. Pupuk Asean, misalnya, termasuk yang terbaik di dunia. Sejumlah negara – termasuk Cina dan Vietnam – sangat menyukai pupuk dari PT. Pupuk Asean tadi. Tapi itulah sejarah – kini pabrik yang pernah memproduksi 750.000 ton pupuk pertahun itu, kini telah menjadi besi tua. Kisah kejayaannya lenyap setelah PT. ExxonMobil – perusahaan minyak dari AS- tidak lagi mau menyuplai gas (bahan utama pupuk urea) untuk kedua pabrik tersebut. Kedua pabrik yang dulu amat dibanggakan Indonesia itu kini menjadi “besi rongsokan” yang akan masuk gudang pedagang besi bekas Madura. Exxon yang bertahun-tahun menyedot migas di kawasan tersebut secara kurang-ajar telah membangkrutkan kedua perusahaan pupuk besar tersebut. Dan sepertinya kisah-kisah kekurang-ajaran Exxon masih akan berlanjut.
Kawasan Barat Indonesia terkenal kaya akan kandungan mineral terutama gas, dan inilah yang terdapat di Pulau Natuna, tepatnya di Blok Natuna D-Alpha. Pemerintah Indonesia (orde baru) telah berkolusi dengan Exxon sehingga tahun 1986 memberikan Kontrak Bagi Hasil (PSC = Production Sharing Contract) yang sangat menguntungkan Exxon. Bayangkan, Indonesia sebagai tuan tanah tidak mendapat hasil sepeserpun dari kesepakatan Kontrak tersebut alias 0 persen. Indonesia hanya akan mendapat hasil dari pendapatan pajak, sesuatu hal yang sudah lama menjadi rahasia umum bahwa perusahaan asing seringkali memanipulasi pendapatannya untuk kepentingan pajak.
Tetapi setelah 20 tahun pemberian kontrak tersebut, Exxon nyaris tak berbuat apa-apa. Berdasarkan perjanjian, pada tanggal 9 Januari 2005, kontrak itu putus secara otomatis dan Exxon harus mengembalikannya kepada pemerintah. Tetapi dengan dalih bahwa Exxon telah memberikan surat pernyataan akan melanjutkan kembali kontraknya di Natuna, perusahaan minyak AS itu tak mau diputuskan kontraknya begitu saja oleh pemerintah. Dia merasa masih berhak untuk melanjutkan kontraknya.
Kenapa Exxon ngotot mempertahankan Blok Natuna D-Alpha ? Bahkan dengan meminta bantuan langsung Presiden Amerika George W Bush, dan ia datang langsung menemui Presiden RI di istana Bogor 20 November 2006. Sehingga akhirnya pemerintah RI tak berani memutus kontrak Natuna D-Alpha dengan Exxon.
Kejadian ini kembali terulang pada masa penanganan Blok Cepu. Mengapa Exxon Mobil diberi hak pengoperasian Blok Cepu dan bukannya Pertamina, padahal Ikatan Sarjana Geologi Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjadi operator tambang minyak di Blok Cepu? Dan mula-mula Pertamina sendiri juga menyatakan bisa dan sanggup? Akal sehat mengatakan, tentu ada Giffen-Giffen lain yang memberikan sogokan besar ke sejumlah petinggi Indonesia, sehingga sampai 2036, Exxon Mobil akan mengendalikan pengoperasian Blok Cepu
Marwan Batubara dan kawan-kawan telah menerbitkan buku " Tragedi & Ironi Blok Cepu: Nasionalisme yang Tergadai (2006)". Dalam buku setebal 288 ini Marwan Batubara dan sejumlah cendekiawan dan profesional kita membahas begitu jelas kebodohan kita (kebodohan sengaja) sehingga "Kabinet Indonesia Bersatu berpihak pada kepentingan Exxon Mobil". Sesuatu yang merugikan kepentingan bangsa jangka panjang dikatakan sebagai sesuatu yang menguntungkan adalah sebuah bentuk pembodohan terhadap rakyat Indonesia.
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 12 dari 19
Dradjad Wibowo menghitung seandainya Blok Cepu itu dikelola sendiri oleh Pertamina, sementara Exxon Mobil hanyalah semacam mitra yunior (sesuatu yang realistis, masuk akal dan yang seharusnya),92 Pertamina akan memperoleh tambahan aset senilai 40 milyar dolar. Itu didasarkan asumsi harga minyak US$50 per barel dan gas US$3 per mmbtu. Cadangan minyak di Blok Cepu minimal 600 juta barel sedangkan cadangan recoverable gas paling sedikit 2 trilyun standar kaki kubik (TCF). Pertamina bisa mendapat dana segar, katakanlah US$ 6 — 8 milyar untuk keperluan ekspansi usaha, dan segala macam kegiatan yang bermanfaat bagi bangsa.
Namun pikiran jernih di atas hanya dapat dilakukan oleh mereka yang bermental merdeka, berdaulat dan mandiri. Untuk orang yang belum sembuh dari kolonisasi mental dan lebih suka menghamba pada korporatokrasi internasional, tentu memilih yang mudah. Bahwa kita sudah merdeka 62 tahun dengan barisan geolog, teknisi dan profesional yang menguasai managerial know how buat pertambangan modern, semua itu dilupakan. Dalam buku Marwan dan kawan-kawan di atas dapat dilihat bagaimana pemerintah tidak punya nyali berhadapan dengan Administrasi Bush yang ekspansif, agresif dan eksploitatif. Lagi-lagi kita hanya menjadi Pak Turut.
Ada dua komentar tajam yang dimuat dalam sampul belakang buku Marwan Batubara dan kawan-kawan tersebut. Kwik Kian Gie: "Jika setelah 60 tahun merdeka tidak ada orang Indonesia yang mampu mengeksploitasi Blok Cepu, maka kemungkinannya hanya ada dua: semuanya sudah disuap Exxon Mobil atau semuanya masih bermental budak inlander." Kwik melupakan kemungkinan ketiga, yaitu kombinasi keduanya. Karena mendapat suapan besar dan Exxon Mobil maka mereka suburkan mental inlander mereka.
Sekedar bandingan, dalam Kazakhgate, Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev dan Menteri Minyak Nurlan Balgimbayez, disuap Exxon Mobil sebesar US$ 78 juta, sehingga Exxon mendapat perlakuan dan konsesi istimewa untuk mengeksploitasi minyak di Kazakhstan.
Komentar lain dari Dr. Warsito, Ketua Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia: "Kalau 90% lebih sumber energi kita dikuras oleh pihak asing, maka secara rasional berapa lama negara kita akan mampu bertahan secara ekonomi? Seberapa bebas keputusin politik bisa diambil oleh Para pemimpinnya? Dan yang lebih memprihatinkan lagi seberapa mahal harga yang harus dibeli oleh rakyatnya, dari harga BBM, TDL, hingga tarif jalan toll"
DREDGERS (PENYELUNDUP PASIR)
Sementara itu, impotensi elite kita nampak begitu mencolok dalam menghadapi pencurian pasir kita oleh puluhan dredgers atau kapal pengeruk pasir dari berbagai negara yang berdagang secara illegal dengan Singapura. Di seluruh dunia, sampai tahun 2003, diperkirakan ada sekitar 70 dredgers, 54 dari jumlah itu beroperasi di sekitar Riau, siang malam menyedot pasir laut Indonesia. Beberapa pulau kecil sudah runtuh dan hilang berpindah tempat diangkut oleh kapal pengeruk pasir dari Belgia, Belanda, Rusia dan Korea Selatan untuk reklamasi pantai Singapura.
Pada 1960, luas seluruh Singapura hanyalah 581,5 km persegi. Berkat reklamasi tanpa henti itu luas Singapura menjadi 650 km persegi pada awal 1980-an. Dus, ada tambahan sebanyak sekitar 70 km persegi. Rencananya, pada tahun 2010 untuk memenuhi kebutuhan perumahan, pertokoan, lapangan terbang, pusat hiburan dan perjudian, lewat reklamasi, luas Singapura akan menjadi 820 km persegi.
Darimana tambahan tanah/pasir sampai puluhan km persegi itu? Darimana lagi kalau bukan dari Indonesia, negara yang elite nasional dan elit daerahnya tega menjual tanah dan airnya "secara harfiah" ke negara tetangganya? Pengerukan pasir dan penggerusan pulau-pulau di kepulauan Riau, bahkan di sekitar Batam dan Bintan, hakekatnya telah menghancurkan ekosistem secara telak. Sekitar 2 miliar meter kubik pasir setiap tahun diambil dari Indonesia untuk reklamasi Singapura.
Sulit dibantah bahwa Singapura, yang mengklaim dirinya sebagai law-abiding country, negara yang taat hukum, ternyata telah menjadi tukang tadah pencurian pasir Indonesia. Pada 2001, data resmi di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah ekspor pasir kurang dari 75 juta meter kubik, sedangkan Singapura mengirnpor pasir sebanyak 300 juta meter kubik. Di Asia Tenggara tidak ada negara yang serampangan dan tanpa pikir panjang dalam menjual aset pasir atau tanahnya ke negara lain, kecuali Indonesia. Selisih jumlah pasir berdasarkan data resmi itu berarti bahwa yang tidak termonitor berasal dari perdagangan pasir ilegal dengan pembeli tunggal, Singapura. Penjualnya adalahpemilik dredger dari berbagai bangsa seperti disebutkan di atas.
Volume uang yang berputar dalam perdagangan pasir, legal dan ilegal, memang meliputi belasan milyar dolar Amerika. Pada 2001 harga pasir legal per meter kubik hanyalah 65 sen dolar. Di tangan perusahaan konstruksi Singapura, lewat para broker internasional, menjadi sekitar 13 dolar atau lipat 20 kali. Kita tidak boleh lupa bahwa perdagangan pasir, baik legal maupun ilegal, dapat berlangsung karena di Jakarta
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 13 dari 19
ada sindikat yang mengamankan pasokan pasir ilegal ke Singapura. Sindikat ini begitu kuat karena melibatkan orang-orang "kuat" Indonesia. "Kuat" dengan tanda petik, karena sejatinya mereka itu orang yang lemah moral, lemah akhlak, lemah daya juangnya, namun "kuat" nafsu serakahnya untuk menjual sebagian tanah air kepada negara lain.
Dalam kaftan jual-beli pasir atau curi-tadah pasir, masyarakat Malaysia menampakkan harga diri lebih tinggi. Ketika muncul sindikat pengeruk pasir yang mengambil pasir di teritori Malaysia dan dijual ke Singapura, tokoh-tokoh Malaysia tampil dengan tegas. Mereka menganggap para penjual pasir itu sebagai penghianat bangsa. Titik. Perdagangan pasir Malaysia kemudian berhenti segera.
Di Indonesia, masyarakat pada umumnya, pemerintah dan media massa seolah menganggap pencurian pasir Indonesia yang terjadi siang-malam sebagai biasa-biasa saja, seperti bukan kejahatan. Padahal kerusakan lingkungan yang diderita Indonesia cukup parah. Belum lagi penghinaan tak terucapkan yang sesungguhnya kita derita dan waktu ke waktu. Di sebelah itu kenyataannya dengan reklamasi terus menerus, batas garis pantai Singapura terus bergerak ke luar. Diperkirakan pulau Nipah, pulau milik Indonesia yang sangat dekat dengan garis pantai Singapura suatu ketika dapat dicaplok Singapura pelan-pelan.
PRODUKSI MINYAK INDONESIA DI KUASAI ASING
Masyarakat awam tidak mengetahui bahwa produksi minyak nasional sebesar sekitar satu juta barrel/hari sekarang ini sudah didominasi oleh korporasi asing. Dari sekitar satu juta barrel per hari itu Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sedikit di atas Medco yang memproduksi sekitar 75 ribu barrel. Produksi besar adalah oleh Chevron, sekitar 450 ribu barrel per hari. Jangan pula dilupakan bahwa 90 persen dari 120 kontrak production sharing dikuasai oleh korporasi asing.
Hendri Saparini dari Tim Indonesia Bangkit menilai bahwa UU No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi justru memunculkan pengelolaan migas yang amburadul. Saparini mengatakan bahwa UU Migas pada era Megawati, telah diijonkan ke pihak asing untuk ditukar dengan hutang. Mulusnya UU yang sarat kepentingan asing itu menunjukkan bahwa "kepentingan korporat dunia dan kerakusan negara Barat telah diakomodasi dengan sangat baik lewat Para komprador Mafia Berkerley yang sudah menguasai kebijakan ekonomi Indonesia sejak 40 tahun lalu". Sebagian elite kita sangat lihai malah sudah lebih jauh lagi dibandingkan "mafioso" Berkerley itu.
CONTOH KASUS KESALAHAN FATAL COST RECOVERY
Seorang ahli pertambangan internasional pernah mengatakan bahwa. cuma Indonesia saja, di muka bumi ini, yang masih bertahan lewat KK dalam mengelola kekayaan mineral non-migas. Sementara dalam hal KKS, sepintas pembagian hasil 85:15 itu sudah bagus dan adil. Tetapi dalam kenyataannya berubah sangat drastic setelah perhitungan cost recovery.
Perhitungan cost recovery memang menjadi biang kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar, terbukti dengan banyaknya temuan dan penyimpangan oleh BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan). Sebagai misal, Pertamina EP, kontraktor dalam negeri, anak perusahaan Pertamina, membebankan biaya depresiasi, sebagai cost recovery-nya atas asset milik PT Pertamina, selama 2004-2008 pada APBN kita sebesar Rp 21,85 triliun. Pembebanan cost recovery itu melalui Work Program and Budget (WP&B).
Biaya depresiasi 4 tahun sebelumnya sudah dibayar sebagai beban APBN TA 2004, 2005, 2006 dan 2007. Sisa yang dibebankan pada APBN TA 2008 adalah US$333 juta. Beruntung, dalam perbincangan antara pemerintah dan Para anggota DPR di panitia anggaran, ada seorang anggota DPR yang baru dua bulan menjabat, dan ia menyadarkan kita semua bahwa telah terjadi kesalahan akuntansi yang fatal. Ada rekayasa akuntansi yang merugikan negara sebesar Rp 21,8 triliun selama 5 tahun.
Menurut sang wakil rakyat, Marwoto Mitrohardjono, akuntansi Pertamina EP menyalahi GAAP (generally accepted accounting principle) yang lazim berlaku di dunia. modern. Dalam kontraknya dengan BP Migas, yang seharusnya dibayar sebagai cost recovery adalah yang berkaitan dengan peralatan yang dibeli setelah kontrak.
Namun menurut Marwoto, ada kebodohan yang sangat ironis. Depresiasi terhadap fixed assets milik negara, seperti tanah, sumur migas, bangunan dan lain-lain diwujudkan dalam tunai dan dibayarkan ke Pertamina
Analogi yang dibuat Marwoto sangat sederhana dan jelas. Seseorang punya mobil taksi, kemudian ia
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 14 dari 19
membuat kontrak dengan seorang sopir untuk mengoperasikan taksi tersebut. Di samping upah sudah diberikan ke sopir plus harga sepatu, baju dan peralatan yang diperlukan, ia bayar lagi ke sopir itu ongkos penyusutan mobil per tahun secara tunai. Tentu hanya pemilik mobil yang super jahiliah (super ignoramus) yang melakukan kebodohan tersebut.
Marwoto kemudian menyatakan dengan Bahasa yang sangat halus, "tidak tertutup kemungkinan terjadinya penyimpangan akuntansi maupun legalitas dalam masalah klaim cost recovery oleh KPS-KPS lainnya selain PT Pertamina EP, yang potensial bisa merugikan negara. Untuk ini perlu dilakukan audit investigasi juga".' Di atas disebutkan dalam goreng-menggoreng akuntansi, korporasi internasional pasti lebih "cerdas" dan cunning dibandingkan Pertamina EP. Kita bisa Baca betapa canggih dan luasnya kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih (white collar) dalam banyak literatur tentang state capture corruption.
Maksud beliau, satu KPS dengan PT Pertamina EP saja menyebabkan negara kebobolan sekitar 20 triliun, apalagi dengan lusinan KPS dan KK dengan berbagai korporasi asing yang mengidap patologi keuntungan yang sudah akut yaitu memaksimalisasi profit dengan segala cara.
LIBERALISASI PERBANKAN : MENJADI KACUNG DI NEGERI SENDIRI
Jiwa liberalisasi diterjemahkan ke dalam Pasal 22 ayat 1b UU No. 10 tahun 1998 yang membebaskan warga negara asing dan atau badan hukum asing untuk mendirikan Bank Umum secara kemitraan dengan warga negara atau badan hukum Indonesia. Lalu ditambah oleh Pasal 26 ayat 2 yang membebaskan warga negara asing dan atau badan hukum asing untuk membeli saham Bank Umum secara langsung dan atau melalui bursa efek.
Dengan aturan di atas, pihak asing bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia. Ini jauh lebih tinggi dari komitmen Indonesia di WTO yang pada awalnya adalah 49%, lalu dinaikkan menjadi 51%. Indonesia bahkan lebih liberal dari negara-negara Amerika Serikat, Australia, Kanada, Singapura dan sebagainya yang menera.pkan pembatasan kepemilikan asing dalam sektor perbankannya. Juga paling "ngawur" di antara negara-negara Asia lainnya.
Sebagai dampak dari UU Perbankan yang sangat liberal ini, saat ini 6 dari 10 bank terbesar di Indonesia sudah dimiliki pihak asing dengan kepemilikan mayoritas. Hebatnya lagi, pihak asing bisa membeli bank-bank tersebut dengan harga hanya 8-12% dari total biaya rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan yang dikeluarkan oleh negara. Negara pun masih harus membayar bunga obligasi sekitar Rp 50-60 triliun setiap tahun hingga tahun 2030. Kenyataan ini merupakan sebuah demontrasi kebodohan yang rada memuncak dan sulit dicerna dengan akal sehat. Selanjutnya, saat ini semakin banyak bank-bank kecil yang diakuisisi oleh pihak asing. Bukan itu saja, serbuan bankir asing ke Indonesia pun sudah pada tingkat yang memprihatinkan, tanpa ada regulasi yang mengaturnya secara jelas.
PENJUALAN ASET-ASET NEGARA SECARA SERAMPANGAN
Tidak bisakah kita mengambil pelajaran dari penjualan PT Indosat ke pihak asing ? Setelah sadar dan kecewa bahwa penjualan Indosat ke pihak asing merugikan bangsa sendiri, pemerintah kemudian bicara tentang buy back, beli kembali Indosat. Apa yang mau dibeli kembali? Korporasi asing tidak cukup bodoh seperti kita sangka. Sekali mereka berhasil mencaplok aset nasional kita, sampai kapan pun mereka tidak mungkin melepaskan atau menjualnya kembali kepada kita.
- -
Bukan mustahil tatkala Garuda, BNI 46, berbagai PTPN, pelabuhan-pelabuhan strategis, dan berbagai PT milik- negara sudah dimiliki oleh korporasi-korporasi asing, kita kemudian merasa kecewa berat, ternyata laba yang dibukukan mengalir keluar. Kita hanya menerima pajak ala kadarnya dan keuntungan juga ala kadarnya, sebagai pemilik saham minoritas. Lantas kita bicara: Kita harus buy back BUMN yang sudah terlanjur kita jual. Kita khawatir Para dirut korporasi asing itu geli melihat kita. Mereka mungkin melihat kita sebagai bangsa dengan pemerintahan yang paling tidak konsisten dan kurang cerdas di alam semesta.
UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal beserta Peraturan Presiden No. 76 dan 77 Tahun 2007 sesungguhnya merupakan coup de grace atau pukulan telak dan mematikan bagi upaya penegakan kedaulatan ekonomi kita. Pemerintahan Yudhoyono telah membuatkan jalan tol nan mulus bagi korporasi-korporasi asing, besar dan kecil, untuk menguasai perekonomian Indonesia.
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 15 dari 19
PERJANJIAN KERJASAMA INDONESIA - SINGAPURA
Sementara itu Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Indonesia-Singapura yang sudah ditandatangani Pemerintah Yudhoyono dan sedang menunggu ratifikasi DPR juga membuktikan bahwa kedaulatan pertahanan keamanan kita sudah tergadaikan ke Singapura. Kalau masih ada sedikit harga dan martabat diri yang tersisa di dada kita, segera terlihat bahwa perjanjian DCA dengan Singapura itu merupakan perampasan kedaulatan sebagian. wilayah Indonesia. Tokoh-tokoh TNI kita seperti Marsekal TNI Chappy Hakim, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Letjen (Purn) Yogi Supardi, dan lain-lain telah mengingatkan segi-segi berbahaya DCA itu. Kita juga diingatkan bahwa "ada beberapa kolom ruang udara nasional kita yang hingga kini belum sepenuhnya di bawah kekuasaan dan kontrol otoritas penerbangan Indonesia", karena telah puluhan tahun digunakan AU Singapura untuk latihan. Dapat dikatakan bahwa pagar pertahanan nasional kita, telah kita robohkan sendiri untuk memuluskan tercapainya kepentingan pertahanan Singapura.4
Dalam kaitan ini salah seorang menteri Kabinet Yudhoyono berkata bahwa DCA (Defense Cooperation Agreement) RI-Singapura itu "bagus", karena Indonesia punya ruang, Singapura punya uang. Syahnakri pun mengingatkan seharusnya saat bernegosiasi dengan negara manapun yang menjadi faktor dominan dan determinan dalam "ruang berpikir" dan "ruang batin" adalah kepentingan nasional yang spektrumnya lebih luas daripada uang.
Daftar negativisme yang kita peroleh selama lebih dari 3 tahun terakhir ini tentu bisa dibuat lebih panjang lagi. Akan tetapi dari 10 hal di atas kiranya sudah cukup kuat buat kita untuk mengambil satu kesimpulan penting. Kesimpulan itu adalah bila model, gaya, orientasi, arah atau direksi dan terutama esensi kepemimpinan. Yudhoyono-Kalla diberi kesempatan untuk membawa Indonesia 5 tahun lagi setelah 2009 (sampai 2014), kondisi multi-dimensional Indonesia makin terpuruk.
INDONESIA BROKEN GOVERMENT
Dengan kondisi yang kita alami sekarang ini, Indonesia memang belum sampai pada tahapan failed state atau negara gagal. Akan tetapi Pemerintahan Yudhoyono pada dasarnya telah menjadi broken government, pemerintahan yang kocar-kacir, pecah koordinasi dan kepentingan rakyat banyak tidak terlayani. Sebagian besar rakyat tetap dirundung sengsara dan tidak/belum dapat melihat masa depan dengan penuh harapan.
Bukti-bukti broken government itu demikian meyakinkan. Hampir di semua kota sering terlihat antrian panjang minyak tanah yang mengingatkan kita pada Indonesia di tahun-tahun 1960-an. Jutaan rakyat yang didera kemiskinan terpaksa makan nasi aking dan raskin (beras untuk orang miskin). Sementara istilah "raskin" itu sendiri sangat tidak senonoh, karena menghina bangsa sendiri. Demikian juga giliran listrik mati di Jawa dan luar Jawa membawa kita kembali ke Indonesia 40-45 tahun yang lalu.
Ketika harga BBM dinaikkan sampai lebih dari 100%, cara pemerintah menanggulangi dampak negatif kenaikan ugal-ugalan itu terasa kurang lebih idiotik. Salah satu tanda seorang idiot adalah melakukan langkah tergesa tanpa mempertimbangkan akibatnya. Selain BTL (bantuan tunai langsung) yang berupa bagi-bagi 300 ribu rupiah pada warga ekonomi lemah per tiga bulan hanya berjalan beberapa kali, BTL itu sempat membuat konflik antar warga dgn aparat lokal.
Lihatlah juga bagaimana infrastruktur kita, terutama jalan antar kabupaten, jalan antar-provinsi dan jalan trans-Kalimantan, transSumatera, jalan Pantura di Jawa dan berbagai jalan lain di seluruh Indonesia yang telah mengalami kerusakan berat. Hampir seluruh infrastruktur ekonomi yang berupa jalan, banyak berlubang dan tidak jarang terdapat lubang besar seperti kubangan yang dapat membuat sebuah truk besar tergelimpang. Kondisi parah berbagai jalan di Indonesia ini menjadi bukti adanya broken government itu.
DEFORRESTATION dan ILLEGAL LOGGING
Yang kita miliki sekarang mungkin bukan saja broken government, melainkan juga confused government (pemerintahan yang bingung). Sekeping contoh, Pemerintah Yudhoyono menerbitkan PP No. 2 Tahun 2008 yang menabrak UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 38 ayat 4 UU itu melarang melakukan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Tetapi karena cenderung lupa clan. bingung, PP di atas membolehkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar Rp 1,8 juta-Rp 3 juta per hektar.
Kapankah kita berhenti menjadi bangsa yang bodoh? Satu meter persegi hutan lindung dan hutan produksi dihargai lebih murah dari sepotong pisang goreng, hanya sekitar 300 rupiah?' "Sangat picik kalau menganggap nilai ekonomi lebih besar
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 16 dari 19
daripada jasa lingkungan. Apa arti semua ini bila dikaitkan dengan Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi PBB untuk perubahan Iklim."s Kaitannya jelas, yaitu mempermalukan Indonesia di mata dunia internasional. Lagi-lagi PP (Peraturan Pemerintah) aneh itu menunjukkan cara pendekatan idiotik terhadap masalah yang demikian besar.
Kantor berita Reuters menyebutkan bahwa 72 persen hutan Indonesia telah musnah, sementara setengah dari sisanya terancam punah karena commercial logging (pembalakan komersial, mungkin istilah lain dari illegal logging), kebakaran hutan dan penggundulan untuk perkebunan sawit. Guiness Book of Records (2008), diterbitkan September 2007, menyebutkan: Indonesia is the world champion in deforestation. Indonesia memegang kejuaraan dunia penggundulan hutan." Menurut Greenpeace, selama 2000-2005 Indonesia merupakan negara paling cepat dalam menggunduli hutan-hutannya, sehingga setiap jam, hutan seluas 300 X (tiga ratus kali) lapangan sepak bola amblas untuk selama-lamanya. Kecepatan itu sekarang pasti menurun, karena hutan yang tersisa tinggal sedikit, sudah tidak memungkinkan kenduri besar lagi.
Salah satu pembalak liar terdepan, Adelin Lis, tertangkap di Beijing pada akhir 2006. Pemilik dua perusahaan kayu ini dijadikan tersangka oleh Kepolisian Daerah Sumatera utara karena diduga melakukan illegal logging yang merugikan negara sebesar Rp 227 trilyun atau 227 ribu milyar rupiah, sekitar sepertiga APBN Indonesia. Namun ia dilepaskan oleh majelis hakim dengan alasan "tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yang ia lakukan". Masyarakat luas protes keras terhadap kezaliman ini. Akan tetapi sebegitu jauh elite puncak nampak tenang-tenang saja. Mengapa?
PENUTUP
Saya pribadi hampir sudah tidak percaya lagi bahwa semua persoalan bangsa ini dapat diselesaikan dengan pergantian kepemimpinan melalui proses demokrasi. Persoalan korupsi bangsa ini sudah sedemikian kompleks dan ruwet dengan hanya mengandalkan satu proses politik lima tahunan. Pada kenyataannya kita melihat ketimpangan yang terjadi pada masa kampanye dan masa setelah orang tersebut terpilih menjadi pemimpin. Partai politik pun seperti itu, dahulu misalnya, kita memprotes pemerintahan karena terlalu sentralistik, tetapi saat ini Partai-partai memperlihatkan model kepemimpinan yang otoriter dan sangat sentralistik. Bagaimana mungkin keputusan-keputusan strategis yang menyangkut masa depan bangsa hanya didasarkan pada putusan beberapa pimpinan partai yang kacaunya keputusan tersebut seringkali susah diargumentasikan.
Demokrasi memang menuntut kesabaran, tapi selalu saja banyak yang berharap besar terjadinya percepatan. Ketika reformasi ternyata diawali dengan munculnya anarki, lalu banyaknya preman politik dan kemudian puluhan partai, harapan segera lahirnya demokrasi yang dewasa harus ditunda. Kesabaran yang lebih panjang ternyata harus dimiliki oleh siapa saja yang sudah terlanjur mengharapkan cepatnya terwujud masyarakat yang demokratis. Persoalannya, tingkat kesabaran seseorang dengan yang lainnya tidak sama. Juga masih sabar ketika di masa awal demokrasi seperti ini melihat banyak kepala daerah terpilih yang hanya bermodal nekat. Kita masih sabar ketika melihat partai-partai hanya diperankan sebagai "kendaraan" sementara yang harga karcisnya mahal setiap menjelang pemilihan kepala daerah atau menjelang pencalonan anggota DPR/DPRD.
Kita sabar dan menyadari bahwa semua itu lama-lama akan hilang sendiri secara bertahap. Satu kali putaran pemilu belumlah bisa diharapkan mematangkan demokrasi. Perlu beberapa kali putaran lagi untuk membuat masyarakat tidak "salah pilih" wakil, tidak "salah pilih" kepala daerah dan tidak "salah pilih" presiden. Juga tidak "salah pilih" partai mana yang harus dicoblos.
Tapi, masih perlu berapa kali putaran lagi? Satu putaran lagi? Dua putaran lagi —yang berarti 10 tahun lagi? Atau bahkan tiga atau empat putaran lagi?
Dari kenyataan yang ada sekarang, kita lagi menghadapi cul de sac. Kepartaian harus diperbaiki lewat undang-undang. Tapi undang-undang hanya bisa lahir kalau partai-partai setuju. Maka saya melihat partailah yang kini menjadi penghambat nomor satu akan terjadinya percepatan terwujudnya masyarakat demokratis yang dewasa.
Partai juga masih sangat "pengurus oriented'. Anggota partai baru berfungsi sebagai suara yang kadang-kadang saja diperlukan. Banyak keputusan penting yang hanya ditentukan oleh pengurus. Alangkah tidak aspiratifnya ketika calon kepala daerah, atau calon presiden hanya ditentukan oleh segelintir pengurus partai yang dengan senjata mandat mengatasnamakan semua anggota partainya.
Apakah tidak amat lucu ketika di suatu propinsi, partai mengadakan konvensi untuk menentukan calon kepala daerah. Peserta konvensinya adalah pengurus partai yang jumlahnya kurang dari 50 suara. Alangkah gampangnya terjadi perdagangan suara. Tapi, dengan pe-de-nya partai-partai menyebutkan forum itu sebagai
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 17 dari 19
konvensi. Seolah-olah anggota partai, semuanya, sudah dilibatkan.
Pengurus partai telah berperan sebagai "call', "broker", "preman", "pemeras", dan sebangsanya sambil melupakan peran yang diharapkan masyarakat sebagai pilar perubahan menuju kebaikan. Alih-alih melakukan perubahan, yang terjadi malah bernostalgia, mengenang kembali masa-masa kepemimpinan masa lalu, menjadi alergi terhadap upaya untuk mengungkit kembali kebijakan yang memiskinkan rakyat di masa lalu, bahkan berusaha memaafkan dan menganggap pemimpin orde lama dan orde baru sebagai pahlawan dan guru bangsa.
Para aktifis politik sebaiknya jangan lagi membandingbandingkan dengan masa lalu. Zaman sudah berubah, dan berubahnya sangat cepat. Kalau percepatan perubahan masyarakat itu tidak diperhitungkan dalam penyusunan "skenario demokrasi", bisa-bisa akan terjadi perubahan tak terduga yang terjadi dengan sendirinya.
Kesabaran masyarakat kini berada di jalan buntu, cul de sac.
Namun demikian, saya melihat pemimpin yang bersalah atau keliru harus di koreksi, dengan cara baik dulu, jika tidak mempan, baru dengan keras. Seperti seorang yang akan tertabrak mobil, kita harus berTERIAK dengan KERAS, jika orang tersebut tidak juga sadar dirinya dalam bahaya, kita bahkan boleh MENDORONGnya supaya terjatuh dan terhindar dari serudukan mobil yang akan merenggut nyawanya. Sebagai pemimpin, harusnya berbesar diri dan legowo atas kritik-kritik yang diterima. Jika tidak, maka ia tak pantas untuk menjadi pemimpin apalagi yang dipilih secara demokrasi.
Pada akhirnya memang kita tidak bisa menyandarkan perubahan-perubahan bangsa ini hanya pada kesadaran individu saja. Kesadaran individu tidak akan bisa masif atau berefek luas tanpa adanya pemimpin yang memberi contoh. Seharusnya kita bisa bercermin dari pemimpin Iran Ahmadinejad yang hidup sangat sederhana bahkan katanya dinding bata rumah saja belum di plester. Atau ketawadhuan Lech Walensa pemimpin Polandia dan ketua Partai Buruh yang ketika sudah tidak menjabat ketua partai dan PM lagi ia kembali kedunia sebelumnya yaitu menjadi buruh pabrik. Ketika wartawan bertanya kenapa anda kerja sebagai buruh di pabrik ini ? Lech menjawab “Kalau tidak begini, darimana anak istri saya makan ?”.
Rakyat pasti akan mengapresiasi pemimpinnya yang berjuang untuk mereka sehingga mampu hidup sederhana. Ketika kita misalnya disebutkan nama Bung Hatta, pasti yang tergambar di benak kita adalah seorang tokoh proklamasi dan pejuang ekonomi kerakyatan yang berjuang untuk rakyat. Disebutkan Muhammat Natsir, maka terbayang sosok sederhana pejuang ummat yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk umat dan bangsa ini. Tetapi jika di sebutkan Soeharto atau bahkan Soekarno maka bayangan kita menjadi terbelah antara kebaikan dan keburukannya. Dan keburukanlah yang lebih dominan dalam benak manusia.
Dua hal akan terjadi bila tidak ada perubahan politik di 2009, yaitu: pertama, penjajahan ekonomi asing semakin luas dan mendalam, sehingga sulit dibayangkan bagaimana kita dapat keluar dari cengkeraman ekonomi asing itu, dan kedua, jenis korupsi yang paling gawat, yaitu korupsi sandera-negara atau state capture corruption/ state hijacked corruption menjadi makin sistemik, institutionalized (melembaga), deep rooted (mengakar makin dalam), destruktif dan korosif.
Tetapi mengharapkan perubahan politik saja tentu tidak cukup, sejarah mencatat bahwa, seberapa bersih pun seseorang ketika masuk kedalam sistem yang jelek pasti akan terimbas kejelekan pula. Apalagi jika seseorang yang terpilih tersebut memang tidak bersih, atau nyata-bnyata agen asing. Seperti yang disampaikan di awal tulisan. Mengandalkan perubahan politik semata, hanya akan menyebabkan kita keluar dari mulut buaya dan masuk ke mulut singa. Tidak akan ada perubahan signifikan pada kesejahteraan rakyat. Tidak akan ada lompatan kebijakan yang luar biasa dibidang ekonomi kerakyatan. Yang ada hanya peralihan kekuasaan saja, tidak kurang dan tidak lebih.
Bila hal-hal yang kita khawatirkan itu sampai terjadi, situasi bangsa akan sangat memprihatinkan. Para pemimpin dan anak bangsa masih komat-kamit mengagungkan agama-nya, tetapi perbuatannya jauh dari nilai-nilai ideologi, falsafah, dan keadilan yang diajarkan agamanya.
Sadar atau tidak mereka akan menjadikan Keuangan sangat berkuasa dengan Kemanusiaan yang agak zalim dan tidak begitu beradab. Perpecahan Indonesia menjadi makin riil, sementara Kerakyatan yang diterapkan dipimpin oleh kepentingan konglomerat dan korporatokrat. Tentu, dengan kondisi seperti ini yang kita panen adalah Ketidakadilan sosial bagi kebanyakan rakyat Indonesia.
Tulisan ini meskipun sudah saya sebarkan ke teman-teman, tetapi sejatinya bukanlah tulisan saya, saya hanya mengutip dari buku-buku tentang bertema korupsi saya. Rasa hormat saya kepada para penulis buku dalam daftar pusataka. Dus, tulisan ini pun belum final, saya terus mengoreksi dan memberikan tambahan dan catatan-catatan sambil tetap saya sebarkan dalam bentuk seperti ini.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 18 dari 19 Korupsi, Menyandera Negara, Abdul Basyir Hal 19 dari 19

DAFTAR PUSTAKA
1. Al. Andang L Binawan, Korupsi Kemanusiaan, Kompas, 2006
2. Backman, Michael, Asia Future Shock, , Ufuk, 2008
3. Batubara, Marwan, Skandal BLBI, Ramai-Ramai Merampok Negara, Haekal Media, 2008
4. Batubara, Marwan, Tragedi & Ironi Blok Cepu, Nasionalisme yang Tergadai, Bening, 2006
5. Cermin dari Cina, Kompas, 2006
6. Gie , Kwik Kian, Kebijakan Ekonomi Politik, dan Hilangnya Nalar, Kompas, 2006
7. Gie,Kwik Kian, Pikiran yang Terkorupsi, Kompas, 2006
8. Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden, Ujuk 2007
9. Marwan Ja’far, Infrastruktur Pro Rakyat, Pustaka Tokoh Bangsa, 2008
10. Mohammad Amien Rais, Selamatkan Indonesia, PPSK, 2008
11. Perkins, John, Confession Of An Economic Hitman, ,2006
12. Perkins, John, Pengakuan Bandit Ekonomi,, Ufuk, 2007
13. Rachbini, Didik J, Teori Bandit, , RMBook, 2008
14. Revrisond Baswir, Mafia Berkeley, Pustaka Pelajar, 2006
15. Surga Para Koruptor, , Kompas, 2004
16. Wahyudin Munawir, Lapindo Gate, Skandar Industri Migas, Progressio Bandung, 2007
17. Wibowo, I, Belajar dari Cina, Kompas, 2005
baca selengkapnya »»