12 Desember 2008

Bersama Al Haq dan Ahlul Haq
Oleh: KH. Rahmat Abdullah (alm)

“Selalu bersama Kebenaran, walaupun engkau sendirian.”

Alangkah idealnya pesan ini bagi mereka yang mampu ,memilah egoisme pribadi dan tarikan negative grafitasi in grouping yang sering tampil menjadi kembaran egoisme itu sendiri.


Perasaan ikhlas yang kadang terkacaukan oleh kecenderungan egoisme akan melahirkan khawarij zaman yang dungu dan menafikan kebersamaan, hanya karena kelemahan umat dalam menggapai injazat (karya-karya) dakwah secara serempak, kemas dan tuntas. Seperti egoisme murjiah yang menikmati kelezatan fatalisme dan mengolah menunya untuk disantap dengan lahap oleh para tiran: “Vonis itu nanti di sana, amar ma’ruf nahi munkar tiada guna, dosa jangan disesali dan kebajikan usahlah disyukuri, karena kita Cuma setitik debu yang ditebangkan angina takdir kemana ia mau.”

Putus asa telah membuka lebar-lebar pintu nafsu untuk mendorong masing-masing kelompok untuk berbangga diri. Seandainya saja karya-karya mereka dapat dirakit menjadi kesatuan produk umat, niscaya ia akan menjadi mozaik-mozaik indah dalam lembaran sejarah umat. Alangkah indahny klaim-klaim mereka, kalau amaliahnya tidak mencabik-cabik kebenaran yang tak pernah takut kesendirian dan keterasingan itu.

Di jalan dakwah banyak bertumbangan kader dengan kadar militansi yang nyaris total pada momentum yang sebenarnya masih dapat dikompromikan. Sebaliknya, tak sedikitnya semua itu mencair pada momentum yang seharusnya militansi hadir dengan tegar. Semoga Allah merahmati Imam Syafiie yang salah satu qaidah fiqh unggulannya ialah Alkhuruj Minal Khilaf Mustahab (keluar dri khilafiyah sangat disukai). Tentu saja ini berlaku dalam hal kompromistik. Tak ada tempat bagi mereka yang sengaja memuaskan syahwat menghindari syari’ah atau produk ijtihad yang sangat representative dengan dalih “ini perkara khilafiyah atau itu kan tafsiran subyektif Ibnu Katsir atau sayyid Quthb.” Atau semangat zaman telah menaklukan makna hakiki sabda. Akhirnya segalanya boleh kecuali yang bertentangan dengan nafsu mereka. Untuk menyakin-yakinkan public terkadang mengutip qaidah-qaidah fiqh dan pada saatnya mereka terbentur dengan prinsip: “Tak semua khilaf dating dengan (bobot) yang pantas diterima, kecuali khilaf yang berakar pada nalar (yang benar).”

Seperti orang yang tak mau shalat hanya karena ada beberapa perbedaan teknis yang mereka tak (mau) tahu batas toleransinya. Atau seorang alim yang menjustifikasi pakaian yang membuka aurat, hanya karena ada perbedaan aplikasi, antara perempuan kota yang resik dan kering dengan perempuan sawah yang sehari-hari harus bergelut Lumpur.

Faqih dan Sufi
Pertarungan kedua kubu ini nyaris tk pernah berakhir, kecuali di tangan ulama yang menjadikan kefaqihan dan “kesufian” sebagai pakaian diri sebelum menjadi tarikan grafitasi in grouping. Cukup adil vonis yang dijatuhkan AlimQuraisy bagi perseteruan klasik ini.

Menjadi faqih dan sufi, jangan jadi satu saja.
Kunasehati engkau agar waspada.
Yang ini keras, hatinya tak pernah mengenyam taqwa.
Yang ini jahil, apa dengan jahil bis lurus suatu perkara?

Ketika bidikan menyimpang satu millimeter, apakah peluru yang melesat dari laras juga menyimpang satu milimeter dari sasaran? Sebagian kaum sufi yang memuja dzauq (rasa) sebagai ukuran absolute, kerap melecehkan fuqaha yang bersiteguh pada dhawabith (patokan-patokan) yang terkadang terkesan formalistik. Kelak akan bermunculan kaum pecinta kebenaran yang begitu santun, berbinar hati dan bermagnet besar, dengan kadar penyimpangan fiqh sampai tingkat yang tak bias ditoleransikan. Para fanatikus fiqh yang kering ruhani, kerap jatuh pada fatwa yang sofistik (safsathah) dan anarkis.
Walaupun terdengar naïf, namun nyata ada kebanggaan fatwa: “seseorang yang mengauli istrinya di siang hari bulan ramadhan, dapat membayar qadha’nya hanya sehari. Syaratnya ia harus membatalkan puasanya terlebih dahulu dengan makan atau minum!”

Atau kisah 50 santri yang sangat bangga dengan kealiman mereka seraya melecehkan orang-orang yang beragama dengan jahil yang karenanya menjadi sudah. Mereka duduk membuat lingkaran. Yang pertama mengikrarkan, 3 ½ liter beras di tangannya menjadi zakat fithr yang ia serahkan kepada santri disampingnya. Santri kedua menjadikan zakat yang telah menjadi miliknya itu sebagai zakat bagi santri ketiga dan seterusnya sampai kembali ke muzakki pertama. Dengan cerdas mereka berhasil membayar zakat fithr 3 ½ liter untuk 50 orang!
Semoga ini terobosan “cerdas” 50 orang yang sudah tak punya apa-apa lagi, selain 3 ½ liter pada seseorang di antara mereka.

Diseberang sana tanpa label faqih atau sufi ada seseorang perempuan yang menolak kehadiran mertua, karena suami berpesan jangan menerima kehadiran siapa pun selama ia musafir. Atau ada seorang lelaki yang pergi berbulan-bulan meninggalkan anak dan istri tanpa nafkah, karena alasan perjuangan yang sangat mulia, berdakwah ke segala penjuru mata angin.

Bersama Kebenaran dan Ahlinya
Cinta kebenaran yang memenuhi hati pembelanya mestilah melahirkan kebersamaan dan kecintaan kepada ahlinya. Kekeringan ruhani kerap melanda mereka yang begitu menguasai banyak pengetahuan teoritik bahkan mendakwahkannya, namun hati mereka kosong dari kebersamaan dengan para pembelanya.
Ketentraman hati dengan pengisahan para rasul adalah aksioma Al-Qur’an. “Dan masing-masing kisah para rasul Kami kisahkan kepadamu, hal yang dengannya Kami teguhkan hatimu…” (QS. Hud:120)

Namun mengapa masih juga terjadi keraguan dan kegamangan? Karena si ragu dan si gamang tidak memancangkan gelombang receiver pada gelombang siar yang sama dari pemancar. Hanya ada dua kemungkinan, ia menset gelombang berbeda atau ada frequensi yang jauh lebih kuat dari gelombangnya. Bagaimana mungkin siaran bacaan Al-Qur’an dari pemancar dapat berubah menjadi rock atau rap di pesawat penerima? Tinggalkan polemik apakah ruh Rasul datang pada momen-momen tertentu. Cukuplah kebersamaan Allah memenuhi segenap relung hati, menggemakan pesan firman suci. “Dan ketahuilah, bahwasannya di tengah kamu ada Rasulullah. Seandainya ia menurutimu dalam banyak urusan, niscaya kamu akan menjadi celaka. Akan tetapi Allah telah mencintakan kamu akan iman dan Ia menghiaskannya di hati kamu dan Ia bancikan kamu kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan…”(QS. Al Hujurat:7)

Dalam makna apapun, ikut menikmati kebersamaannya bersama para sahabat –yang kepadanya ayat ini pertama kali ditujukan- menjadi kebahagiaan dan kekuatan dalam mengaruhi kehidupan.

“Siapa yang terluput melihat Al Mukhtar
(Rasulullah pilihan)
Lihatlah peninggalannya; Al Qur’an dan Sunnah yang besar”
(Syaikh Naqsyabandi)

Bagaiman mungkin hati ummat dan kadernya diujung zaman, menjadi kerontang, sementara dalam adzan selalu disebut namanya sesudah nama-Nya. Bagaiman kader merasa lemah, yatim dan terasing, padahal Ia telah nyatakan, para istrinya adalah ibu mereka? Kalau para istri ibu mereka, siapakah dia bagi mereka?

Walaupun dalam kapasitas, format dan bobot yang jauh dari generasi para sahabat, namun dalam komunitas dakwah yang memasang gelombang setara dengan pemancar masih dapat ditemukan “Hudzaifah’ dan “Umar” seperti juga “Nuaim” dan “Ammar”.



baca selengkapnya »»