13 Desember 2008

Baitu’d Da’wah
Oleh: KH. Rahmat Abdullah (alm)

Suatu malam menjelang fajar, dalam inspeksi rutinnya, khalifah II Umar bin Khatab mendengar dialog menarik antara seorang ibu dengan gadis kencurnya.

“Cepatlah bangun, perah susu kambing kita dan campurkan dengan air sebelum orang bangun dan melihat kerja kita.”
“Bu, saya tak berani, ada yang selalu melihat gerak-gerik kita.”
“Siapa sih sepagi ini mengintai kita?” sang ibu bertanya.
“Bu, Allah tak pernah lepas memperhatikan kita.”


Khalifah segera kembali dengan suatu tekad yang esok akan dilaksanakannya, melamar sang gadis untuk putranya, ‘Ashim bin Umar. Kelak dari pernikahan ini lahir seorang cucu: Umar bin Abdul Azis, khalifah kelima.

Tuan dan Nyonya Da’wah yang saya hormati.
Tentu saja istilah baitu’d da’wah ini tidak dimaksudkan sebagai rumah tempat warganya setiap hari berpidato. Juga bukan keluarga dengan aktifitas belajar mengajar seperti layaknya sebuah sekolah formal. Ia adalah sebuah wahana tempat pendidikan berlangsung secara mandiri dan alami namun bertarget jelas.

Ada kegawatan yang sangat ketika roda keluarga meluncur tanpa kendali. Saat salah seorang anggotanya sadar apa yang sedang terjadi, segalanya mungkin telah terlambat. “Keterlambtan” itu dapat mengambil bentuknya pada ABG yang asing dari nilai-nilai ayah ibunya, atau ayah yang lupa basis keluarganya oleh kesibukkan kerja di luar, atau ibu yang terpuruk dalam rutinitas yang membunuh kreatifitasnya, atau karir yang menggilas peran dan fitrah keibuannya.

Banyak orang merasa telah menjadi suami, istri, atau ayah dan ibu sungguhan, padahal mereka baru menjadi ayah, ibu, suamia atau istri biologis. Sangat kasar kalau diistilahkan menjadi jantan, betina, atau induk dan biang, walaupun dalam banyak hal ternyata ada kesamaan. Kalau hanya memberi makan dan minum kepada anak-anak: kambing, ayam, dan kerbau telah memerankan fungsi tersebut dengan sangat baik. Dan, isu sentral “pewarisan nilai-nilai kehidupan” dalam kehidupan mereka tak ada soal. Buktinya tak satupun anak ayam yang berkelakuan kerbau, atau anak kerbau berkelakuan belut, atau anak kambing berkelakuan serigala. Adalah suatu penyimpangan bahwa anak manusia bertingkah laku babi, serigala, harimau, atau musang.

Tentu saja ini tidak dimaksud mendukung program robotisasi anak yang dipaksa menghafal seluruh program yang dijejalkan bapak ibunya tanpa punya peluang menjadi dirinya sebagai hamba Allah, karena mereka harus menjadi hamba ayah, hamba ibu, dan hamba guru. Ini tidak ada hubungannya dengan program tahfidz atau apresiasi seni Islam yang menjadi bagian dari sungai fitrah tempat air kehidupan mengalir sampai jauh.

Misteri Berkah
Saat ini beberapa keluarga sederhana, dibimbing oleh “intuisi” kebapakan dan keibuan, mendapat berkah dalam mendidik anak-anak mereka. Anak SMU-nya lulus dengan baik, plus hafal 1000 Alfiah ibnu Malik, rujukan utama gramatika Arab (Nahwu). Lumayan mengagumkan, jebolan SMU menjadi rujukan sesame mahasiswa di sebuah Universitas terkemuka di Negara Arab. Tahun-tahun berikutnya sang adik menyusul dengan hak beasiswa ke sebuah universitas unggulan di Eropa. Lainnya bias melakoni dua kuliah yang “pelik”: bahasa Arab di sebuah kolase paling representative sementara siangnya mengambil jurusan Ekonomi. Kemenakannya hafal Al Qur’an 30 juz menjelang akhir semester delapan di institute teknologi paling bergengsi di negeri ini. Kemenakan lainnya lulus akademi militer angkatan darat tanpa kehilangan kesantriannya yang pekat.

Sang bapak jauh dari penguasaan teori ilmu-ilmu pendidikan. Ketika digali hal yang special dari kelakuannya, muncul jawaban yang signifikan: kecintaan keluarga tersebut kepada ulama (dalam arti sesungguhnya) dan keberaniannya amar ma’ruf nahi munkar tanpa harus selalu mengandalkan mimbar tabligh. Mengesankan sekali ucapan Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib, “Barang siapa meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, maka anak, istri, dan pembatunya pun akan membangkan kepadanya.”

Ternyata memang, keikhlasan seorang atau keluarga kerap menembus sampai beberapa generasi sesudahnya. Boleh jadi seseorang merasa telah menjadi bagian dari da’wah yang besar dan berkah, tetapi bukan sikap da’i yang dirawatnya. Alih-alih dari membimbing masyarakat dengan fiqh dan akhlak da’iyah, justru sebaliknya, hanya ghibah dan pelecehan yang digencarkannya terhadap masyarakat. Padahal, besar kemungkinan mereka tidak tersentuh da’wah atau tidak mendapatkan komunikasi yang memadai.

Ikhlas, nilai plus yang menembus lintas generasi.
Keikhlasan yang “naïf” Nabi Ibrahim yang rela –demi melaksanakan perintah Allah- meninggalkan istri dan bayinya dilembah yang tak bertanam di dekat rumah Allah yang di hormati (QS. Ibrahim: 37) menghasilkan bukan hanya turunan nasab yang konsisten, tetapi juga turunan fikrah yang militan.

Ummu Sulaim ibu Ana bin Malik yang begitu stabil emosinya dan begitu mendalam keikhlasannya menerima kematian bayinya, mendapat 100 anak dan cucu, semuanya telah hafal Al Qur’an dalam usia sangat dini. Itu hasil hubungan penuh berkah –ditingkahi doa berkah Rasulullah SAW di malam yang sangat beralasan baginya untuk “meratapi” bayinya yang tiada.

Demikian pula penghianatan istri Nabi Luth dan Nabi Nuh –yang karenanya Allah menyebutnya dengan imra-ah (perempuan) bukan zaujah (istrinya)- melahirkan generasi sangat berbeda.

Yang satu generasi sangat rabbani seperti Nabi Ismail as, yang cermin kepribadiannya membersit dalam ungkapan pekat nilai-nilai tauhid: “Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, akan kau temukan daku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. 37:102)

Di seberang lain dengan pongahnya Yam bin Nuh berkata, saat ayahnya mengajak naik bahtera penyelamat, “Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari air bah.” (QS. 11:43).

Di zaman ketika setiap langkah serigala dengan mudah menyerbu masuk ke rumah-rumah yang tak lagi berpagar dan berpintu, siapa yang merasa aman dan mampu melindungi anak-anak fitrah dari terkamannya? Siapa yang tabah melindungi gelas bening dan kertas putih suci itu dari ancaman yang setiap waktu dapat memecah-hancurkan dan mencemari mereka? Siapa yang tak tergetar hatinya melihat cermin bening yang semestinya ia perhatikan betul raut wajahnya disana, seraya merintihkan desakan suara hatinya dalam sujud panjang di keheningan malam:

“Dan Kami telah berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah dan melahirkannya dengan susah. (masa) hamil dan menyapihnya tiga puluh bulan. Sehingga ketika ia mencapai masa kuatnya dan mencapai usia empat puluh tahun ia berkata: Ya Rabbi, ajarkan daku agar dapat mensyukuri nikmat yang Engkau ridhai serta perbaikilah untukku dalam keturunanku. Sesungguhnya akuk bertaubat kepada-Mu, dan aku termasuk kaum yang menyerahkan diri.”
baca selengkapnya »»